TRIBUNJATENG.COM, KENDAL - Ketua Primer Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Primkopti) Harum Kabupaten Kendal, Rifai mengungkapkan, setidaknya 20 hingga 30 persen dari sekira 500 perajin tahu tempe berhenti produksi.
Hal itu disebabkan mahalnya harga kedelai sebagai bahan baku pembuatan tahu dan tempe.
Saat ini, Primkopti Harum Kendal berusaha membantu para perajin tahu tempe agar tetap bertahan sekuat mungkin.
Baca juga: Empat Sepeda Hilang di Waktu Bersamaan, Terjadi di Dua Rumah Perum Permata Kendal, Ini Kata Korban
Baca juga: Disdagkop-UKM Kendal Temukan Banyak Minimarket Kehabisan Stok Minyak Goreng
Baca juga: Pedagang Tahu Tempe di Kendal Mogok Jualan, Protes Harga Kedelai yang Terus Naik
Baca juga: Capaian Investasi di Kawasan Industri Kendal Rp 23 Triliun, Puluhan Perusahaan Siap Gabung
Dengan cara menjual kedelai seharga maksimal Rp 11.000 per kilogram.
Lebih murah dibandingkan harga kedelai di pasaran yang sudah melebihi Rp 11.000.
"Jumlah perajin tahu tempe di Kendal ada sekira 500 orang."
"Saat ini kami perkirakan 20-30 persen sudah berhenti produksi."
"Kalau hal ini dibiarkan, bisa-bisa terus tumbuh sampai 50 persen," terangnya kepada Tribunjateng.com, Rabu (23/2/2022).
Rifai menyebut, kebanyakan perajin yang berhenti adalah mereka dengan jumlah produksi di bawah 50 kilogram kedelai.
.
Sedangkan perajin dengan kapasitas produksinya lebih dari itu, masih bisa bertahan dengan segala keterbatasan yang ada.
Pihaknya prihatin dengan kondisi perajin tahu tempe karena tidak bisa ambil sikap.
Kebanyakan mereka tidak berani menaikkan harga tahu dan tempe lantaran konsumennya tidak mau.
Jika dipaksakan, akan ditinggalkan.
Di sisi lain, tingginya harga bahan baku kedelai membuat perajin tercekik.
Akhirnya memilih dengan mengecilkan ukuran tahu dan tempe agar bisa dapat untung, walau sedikit.
"Untung perajin tahu tempe sekarang sangat kecil."
"Bahkan banyak yang tidak bisa tutup modal, akhirnya berhenti produksi."
"Maunya jual tahu tempe ukuran normal, tapi harga bahan bakunya melambung tinggi," jelasnya.
Rifai menyebuat, kenaikan harga kedelai hingga tembus Rp 11.000 per kilogram ini mulai terjadi pada awal 2022.
Sebelumnya juga pernah terjadi pada 2000 dan awal 2021.
Padahal, harga standar kedelai untuk perajin, idealnya di angka Rp 7.500 per kilogram.
Cukup untuk menghasilkan produk tahu dan tempe yang bagus, dan bisa mendapatkan untung.
Kini, kondisinya jauh lebih memprihatinkan dengan kenaikan drastis kedelai.
Sebagai perwakilan Primkopti Kendal, Rifai meminta pemerintah turun tangan segera mungkin.
Beberapa tuntutannya adalah, pemerintah harus mengatur dan memperhatikan kembali tata niaga kedelai, agar harga kedelai bisa stabil serta kejadian serupa tidak terjadi berulang-ulang.
Kemudian, pemerintah harus memperhatikan stok kedelai nasional untuk mengantisipasi jika terjadi permasalahan di tingkat dunia.
Karena sebagian besar kedelai yang ada saat ini adalah kedelai impor.
Baca juga: Petaka Bocah 13 Tahun Hilang di Sungai Lukulo Kebumen, Nama Korban Paryudi
Baca juga: Maling Bolongi Plafon Perpustakaan SDN 2 Tenggeles Kudus, Dapat Laptop dan Uang Tunai
Rifai juga berharap, pengalaman kejadian ini bisa diantisipasi pemerintah agar ke depannya tidak mempersulit para perajin tahu tempe dalam menjalankan roda usahanya.
Semata-mata untuk memfasilitasi masyarakat bisa mendapatkan gizi yang murah dan meriah dari tahu dan tempe.
"Perajin mau tidak mau harus menyiasati persoalan yang ada agar tetap bisa produksi."
"Sebenarnya, ini membuat perajin dilema," tuturnya.
Satu di antara perjain tempe yang masih bertahan adalah Haji Tiban (69) warga Weleri, Kabupaten Kendal.
Dia menjadi produsen tempe sejak 1975, saat harga kedelai masih murah.
Dahulu, Haji Tiban bisa memproduksi 1,5 kuintal kedelai per produksi.
Sekarang, jumlah produksinya berkurang drastis menjadi 1 kuintal, karena harga kedelai yang melambung tinggi.
"Enggak kuat kalau beli kedelai banyak dengan harga tinggi."
"Yah seadanya saja meski dapat untungnya juga sedikit," kata dia kepada Tribunjateng.com, Rabu (23/2/2022).
Tiban juga turut serta melakukan aksi mogok produksi sejak Jumat pekan kemarin, agar keluh kesahnya sebagai perajin tempe didengar pemerintah.
Ia pun kerepotan dalam mengatur roda usahanya di tengah tingginya harga kedelai.
Untuk bisa kembali modal, Tiban terpaksa mengecilkan ukuran tempenya.
Dari sebelumnya satu kilogram kedelai jadi 6 biji, sekarang jadi 7 biji dengan harga yang sama Rp 2.500 per biji.
Belum lagi, harus menggaji dua karyawannya yang membantu Tiban dalam mengolah kedelai.
"Kami cuma berharap, harga kedelai bisa stabil kembali."
"Paling tidak Rp 8.500 per kilogramnya, biar kami bikin tempe tidak terlalu kecil dan tidak rugi, biar bisa nutup biaya operasional," harapnya.
Sebelumnya, perajin dan pedagang tahu tempe di Kendal menggelar aksi mogok produksi dan jualan selama tiga hari.
Terhitung mulai Senin (21/2/2022) dan berakhir pada Rabu (23/2/2022).
Aksi ini dimaksudkan agar didengar pemerintah untuk membantu kesulitan para perajin tahu dan tempe. (*)
Baca juga: Atta Haliintar Beri Bocoran Nama Anak Perempuan Aurel
Baca juga: Saat Pengecekan, Mayoritas ASN Pemkot Pekalongan Belum Bisa Gunakan APAR, Muncullah Pelatihan Ini
Baca juga: Tahun Ini Rumah Dinas Bupati Karanganyar Direnovasi, Tahap Awal Anggarannya Rp 65, Miliar
Baca juga: Dindik Kota Pekalongan Rencanakan Homologasi PAUD PKK, Ini Alasannya