Mendikbud Ristek, Nadiem Anwar Makarim menyatakan bahwa dihapusnya jurusan di SMA untuk memberikan kemerdekaan bagi siswa dan kemerdekaan ini diberikan karena siswa SMA sudah memasuki usia dewasa untuk bisa memilih (TribunSolo.com, 13 Februari 2022).
Lagipula, faktor yang menentukan pilihan jurusan tidak selalu berdasarkan pada hasil pengkajian minat bakat yang biasanya dilakukan oleh guru Bimbingan Konseling.
Ada yang memilih jurusan IPA berdasar pada asumsi bahwa jurusan IPA adalah kumpulannya orang-orang pintar dan patuh pada guru dan sebaliknya yang masuk di jurusan IPS atau jurusan Bahasa adalah kelasnya anak-anak nakal dan urakan.
Meski anggapan itu tidak selalu benar, stigmatisasi buruk kelas IPS dan Bahasa diyakini baik oleh siswa, guru dan juga orangtua.
Namun, jika penjurusan benar-benar ditiadakan, tidakkah nanti akan membuat kebingungan bagi guru dan siswa.
Logikanya begini: yang sudah sejak awal siswa diarahkan untuk memilih jurusan ternyata mereka masih kebingungan.
Apalagi, ketika mereka disuguhkan dengan banyak pilihan dan kebebasan; apakah tidak kemudian menjadikan siswa lebih bingung untuk memilih.
Secara teknis mungkin pusat kurikulum Kemdikbud Ristek akan mengatur tata caranya.
Resistensi
Tetapi, bagaimana jika terjadi resistensi dari siswa yang tidak mau mengambil mata pelajaran yang menurut mereka sulit, misalnya Matematika dan Fisika.
Lantas, guru Matematika dan guru Fisika mau mengajar apa? Jika sebagian besar siswa memilih mata pelajaran sosial, bukankah ini akan merepotkan guru ilmu sosial karena harus mengajar kelas yang besar dan beban kerjanya menjadi berlebihan. Apalah artinya jika niat awal memberikan kemerdekaan, justru ketimpangan yang muncul?
Belum lagi ada kekhawatiran sebagian guru akan hak Tunjangan Profesi Guru (TPG) karena ada perubahan struktur kurikulum yang mengakibatkan terhambatnya pemenuhan beban kerja guru seperti yang disampaikan ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI, Sumardiansyah Perdana Kusuma (Kompas.com, 12 Februari 2022). Hal teknis semacam itu perlu dipertimbangkan secara serius oleh Kemdikbud Ristek.
Implikasi lainnya adalah persoalan buku pelajaran yang juga perlu dipertimbangkan.
Memang di era digital sumber belajar bisa didapatkan dari mana saja namun bagi sekolah-sekolah di daerah perbatasan tidak semua bisa mengaksesnya.
Tentu buku-buku penunjang kurikulum ini juga perlu diadakan. Dan untuk pengadaan buku tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.