Berita Banjarnegara

Kisah Penjaga Jembatan Gantung Sungai Serayu, Tiap Ada yang lewat Terdengar Bunyi Gemblodak

Penulis: khoirul muzaki
Editor: muslimah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengendara melintas jembatan gantung di Desa Luwung Kecamatan Rakit Banjarnegara

TRIBUNJATENG. COM, BANJARNEGARA - Jembatan gantung masih menjadi primadona bagi sebagian masyarakat di sekitar sungai Serayu Banjarnegara untuk penyeberangan. 

Meski sudah banyak dibangun jembatan permanen yang lebih memadai. Sejumlah jembatan gantung masih dipertahankan.

Rata-rata bangunan itu sudah berumur. 

Di antaranya jembatan gantung yang menghubungkan Desa Gumiwang Kecamatan Purwanegara dengan Desa Luwung Kecamatan Rakit, Banjarnegara.

Pengendara melintas jembatan gantung di Desa Luwung Kecamatan Rakit Banjarnegara (khoirul muzaki)

Meski sudah berusia setengah abad, bangunan itu nyatanya masih terlihat kokoh.

Suara "gemblodak" menjadi khas jembatan itu saat dilintasi kendaraan.

Maklum, badan jembatan terbuat dari susunan kayu sehingga berbunyi ketika terlindas roda. 

Jembatan ini hanya bisa dilintasi kendaraan roda dua secara bergantian.

Baca juga: Sosok Bupati Pidie Roni Ahmad yang Obati Orang dengan Dikubur, Harta Miliaran, Cuma Punya 2 Motor

Baca juga: Siswi yang Diincar Dimasukkan ke Ruangan, Ancaman Oknum Guru Pelaku Pencabulan Bikin Mereka Trauma

Pengendara lain harus menunggu ketika sudah ada yang melintas di jembatan. 

Sebelum pintu masuk jembatan, ada pos yang dijaga seorang tua, Sudir namanya, warga Desa Luwung.

Setiap hari, dari pagi hingga sore, ia dan temannya secara bergantian berjaga. 

Setiap pengendara yang keluar masuk jembatan harus berhenti di pos. Mereka harus membayar retribusi ke penjaga jika ingin menggunakan fasilitas itu. 

Setiap pengendara roda dua yang melintasi jembatan itu dipungut Rp 2000. Untuk pejalan kaki, cukup membayar Rp 1000. 

"Ini untuk pemasukan desa. Untuk pemeliharaan jembatan, " katanya, Jumat (11/3/2022) 

Ini bukan pungutan liar tentunya, melainkan pungutan resmi yang ditetapkan melalui Peraturan Desa Luwung Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pungutan Desa. 

Uang retribusi dari pengendara, kata Sudir, masuk ke kas desa.

Sebagian dana yang terkumpul akan dialokasikan pemeliharaan jembatan. Sebagian lain untuk menggaji petugas penarik retribusi seperti Sudir. 

Dalam sehari, kata Sudir, ada 50 sampai 100 pengendara yang melintasi jembatan gantung.  

Jembatan gantung ini nyatanya menjadi akses penting warga antar desa.

Warga Desa Luwung dan sekitarnya yang ingin ke Gumiwang atau sebaliknya lebih dekat melalui jembatan gantung, ketimbang melalui jembatan permanen yang memutar lebih jauh. 

Tak ayal, meski harus membayar, banyak pengendara yang memilih menggunakan fasilitas jembatan gantung ini untuk menghemat perjalanan. 

"Kalau memutar lewat Tapen jauh, " katanya

Meski bangunan beton dan besi masih kokoh, tidak untuk lantai jembatan yang terbuat dari kayu. 

Pihaknya harus mengganti kayu jembatan sekitar setiap tiga bulan sekali karena rusak. 

pengendara melintas jembatan gantung di Desa Luwung Kecamatan Rakit Banjarnegara (khoirul muzaki)

Kayu itu, menurut dia, mudah lapuk karena tiap hari terkena panas dan hujan.

Karenanya wajar, butuh anggaran untuk pemeliharaan jembatan yang diambil dari retribusi penyeberang. 

Jasa penyeberangan sudah ada sejak sebelum dibangun jembatan gantung.

Sudir meneruskan profesi itu turun temurun, dari orang tua dan kakeknya dulu. 

Sebelum jembatan gantung dibangun, sekitar tahun 1970, kakeknya membuka usaha jasa penyeberangan menggunakan perahu lesung. 

Dengan perahu tradisional itu, warga bisa menyeberang dan mengakses desa luar untuk berbagai kepentingan.

Dalam perkembangannya, warga membangun jembatan gantung untuk mempermudah akses ke luar desa. 

Orang tua Sudir didapuk menjadi penjaga yang bertugas menarik retribusi dari pengguna fasilitas jembatan gantung.

"Kalau saya mulai tahun 1989 mulai bertugas di sini. Dulu kakek saya menyeberangkan pakai perahu, sebelum ada jembatan, " katanya. (*)

Berita Terkini