Demi Allah sungguh saya malu pada diriku jika anakku menjadi seorang tukang cat, yang cukup dengan uang 1/6 dirham dalam satu minggu, sementara aku memiliki kekayan yang melimpah.
Sungguh ia bertemu dengan Allah dalam keadaan miskin harta, sementara aku kelak bertemu Allah dan hisabku akan lama, karena harus mempertanggung jawabkan setiap dirham yang tersimpan dalam almari-almariku”. Cukup lama sang khalifah berkabung dan meratapi anaknya itu.
Kisah ini ditulis sangat apik dan menyentuh para pembaca, oleh Syeh Abdul Mun’im Qindil dalam bukunya khayaatus sholihin. Tidak jarang dalam kehidupan sehari-hari, kita hanya terbelenggu pada keinginan-keinginan biologis belaka yang memerlukan pemuasan sesegera mungkin (immediate gratification).
Meminjam teori Sigmund Freud, kebutuhan itu hanya terjadi pada fase kekanak-kanakan. Freud membagi tiga tahap perkembangan kenikmatan anak-anak, yang semuanya bersifat kongkrit, biologis, dan pemenuhannya sesegera mungkin.
Tahap kenikmatan
Pada masa awal, letak kenikmatan itu ada di mulut (periode oral). Anak-anak menemukan kenikmatannya ketika memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya.
Oleh karena itu sedang apa pun seorang anak, dia akan mencoba meraih benda di sekitarnya untuk dimasukkan ke mulutnya. Tahap kedua, pusat kenikmatan itu bergeser pada daerah sekitar anus (fase anal).
Dia beroleh kenikmatan ketika buang air besar, bahkan dia merasa nikmat melihat tumpukan kotorannya sendiri yang banyak, sambil dipermainkan. Tidak heran jika seorang anak betah lama-lama berada di toilet ketika sedang buang air besar.
Selanjutnya kepribadian anak berkembang lagi memasuki tahap ketiga, yaitu periode persiapan menjadi orang dewasa, bahwa pusat kenikmatan letaknya pada alat kelamin (fase genital). Dia senang mempermainkan alat kelaminnya dan memperlihatkannya pada teman sebaya.
Sesungguhnya kebutuhan manusia terus berkembang. Semakin paripurna kepribadian seseorang semakin dia membutuhkan kepuasan-kepuasan yang bersifat filosofis dan rukhaniah. Abraham Maslow menyebutnya dengan self actualization (attakaamul al ruhaani) sebagai kebutuhan tertinggi.
Kehidupan modern dengan segala kemajuannya kerapkali menciptakan perangkap terjadinya fiksasi kepribadian. Banyak orang dewasa yang terhambat kepribadiannya, hanya sebatas pada pemenuhan kebutuhan oral atau genital saja. Perbedaannya makan dan minum itu dirubah dalam bentuk simbol seperti kepemilikan harta benda yang melimpah.
Dalam konteks ini, perintah puasa Ramadan seperti yang tersurat dalam Al Baqarah 183, merupakan sebuah bentuk kasih sayang Allah. Kasih sayang untuk mengontrol manusia agar tidak terjebak hanya pada kebutuhan fisik belaka yang bersifat fana.
Hakekat Kemanusiaan
Banyak nilai yang dapat dipetik dari ibadah puasa ini, sebagai upaya mengenali hakekat kemanusiaan. Pertama, adalah jiwa ikhlas. Ikhlas berarti beramal semata-mata karena mengharap ridha Allah swt. Puasa merupakan ibadah yang tidak dapat dipertontonkan pada orang lain.
Dalam puasa orang dididik bahwa keridaan Allah lebih besar daripada dunia dengan segala isinya. Waridlwanun MinaLLahi Akbar (QS 9:72). Kedua, pembersihan diri. Dalam menjalankan ibadah puasa seorang muslim dididik untuk menghindarkan diri dari segala perbuatan tercela.