Wawancara Khusus

Rektor ISI Solo I Nyoman Sukerna Beberkan Makna Pesugihan Kandang Bubrah (1)

Penulis: Rezanda Akbar D
Editor: rustam aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rektor ISI Solo Dr I Nyoman Sukerna saat memberikan sambutan dalam rangka Hari Tari Dunia 2022 di Pendapa Ageng GPH Djojokusumo, Jumat (29/4/2022) pagi.

TRIBUNJATENG.COM - SEJAK kecil sudah suka seni karawitan. Maka setelah lulus dari SMA di Bali, I Nyoman Sukerna melanjutkan studi di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta.

Berkat kecintaannya kepada seni budaya, dan ketekunannya, I Nyoman Sukerna sukses menjadi Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) yang dulu bernama ASKI.

Dipandu oleh Host Elyn Windiyastuti, I Nyoman Sukerna menceritakan kisah perjalanannya dari seniman hingga rektor ISI, serta keunggulan budaya dan seni di Surakarta dan Bali.

Video Ruang Inspirasi telah tayang di media sosial Tribunjateng dan kini disajikan kepada pembaca online maupun cetak Tribun Jateng yang disadur oleh Rezanda Akbar.

Berikut petikan wawancaranya:

Kenapa Pak Nyoman pindah dari Bali ke Solo?

Sebenarnya saya di Bali itu mungkin karena darah dari orang tua. Bapak saya itu seorang seniman kampung di desa seorang pengrawit atau pemain gamelan.

Darah itu mungkin mengalir penuh di saya, sejak kecil sudah belajar menabuh di tempat-tempat upacara baik untuk sosial, di pura-pura.

Setelah masuk melanjutkan di SMA/SMK konservatori, bagian karawitan sampai saya punya ijazah SMA bidang pengrawit.

Rasanya Bali itu hampir semua sudah dipelajari, ingin berkembang saja. Bagaimana kalau ke Jawa? pindah ke Surakarta pilihannya saat itu.

Apa perbedaan Bali dan Solo?

Ada orang bilang kalau ingin melihat kejayaan Majapahit dulu lihatlah Bali sekarang. Solo, Jawa dulu itu ya seperti Bali sekarang, artinya kebudayaan yang ada itu adat.

Sepertinya, Solo itu sudah berubah, sudah berganti generasi. Saya memang dilahirkan di Bali, tradisi di sana masih sangat lestari dan agama serta adat itu menjadi satu budaya Bali.

Sejak kapan jadi tenaga pendidik?

Jadi sebenarnya sejak kecil saya sudah jadi pendidik, pendidik itu apa? Saya menguasi instrumen dalam gamelan ketika teman saya tidak bisa saya ngajari, dari situ.

Kalau di universitas keterampilan saya cepat, mungkin ditakdirkan di situ. Kalau keterampilan untuk nabuh saya cepat nangkapnya terus mengajari teman-teman.

Termasuk di SMKI dulu, saya sudah privat orang asing, sudah bisa bisnis di sana. Itu tahun 79 sudah dibayar $5, sebenarnya ngajarnya sepele, Gamelan Bali, ngajar Gender Wayang Bali.

Saya menguasai itu diajari bapak dulu, terus pindah ke sini. Begitu saya kuliah tahun 82 terus tahun 83 saya diusulkan asisten dosen.

Sempat 4 tahun terus saya lulus 86 sudah SKar, Seniman Karawitan, karena lembaganya akademi, setara sarjana.

Nyaman jadi dosen Pak?

Waktu prof Rahayu jadi ketua di STSI itu, saya pernah minta pindah ke Bali. Karena teman-teman saya yang sepantaran itu pada di hotel kerjanya, sudah pada punya mobil, rumahnya bagus.

Saya dosen gaji Rp 100 ribu saat itu, terus jawaban senior "Kamu itu diopeni dari bayi, sudah besar mau minggat ya?".

Karena itu saya ga jadi, setelah itu ada perhatian pemerintah terhadap dosen, ada tunjungan kinerja ada tunjungan setdos kan, bisa mulai nyicil sepeda motor.

Tapi karena itu tadi, ketika orang senang tidak materi ukurannya, seberapa pun menikmati, senang dengan mahasiswa, bisa nabuh bisa pentas kemana-mana, sampai ke Jepang 9 kali dan saya sudah 7 kali lebih ke London. Semua kami jalan dengan senang hati.

Saat itu menampilkan apa?

Musik tradisi, musik komposisi dengan perkusi kita gabung marging, karena saya basic dari Bali, bisa mainkan Bali, Jawa, dan bareng dengan perkusinya si Toshi dari Jepang itu.

Kalau di ISI itu ada istilah mayor minornya, kalau mayornya itu Bali, kalau karawitan Bali itu saya nguasai. Nah minornya ada Jawa, Sunda, Banyumas, Jogja, Surabaya, Makassar, Padang, kan banyak itu.

Akhir-akhir ini masih sering pentas?

Terakhir, sebelum pandemi itu Setan Jawa mas Garin sebagai produsernya. Setan Jawa itu film hitam putih tapi tidak ngomong kaya wayang.

Nah dia membuat itu dengan tema Setan Jawa, saya sangat senang dengan apa yang disebut Pesugihan Kandang Bubrah, itu diangkat temanya.

Yang menarik itu hitam putih tapi musiknya diikuti live, dengan orkestra. Kami tim pengrawit ada 18 orang, kalau orkestra besar ada 40 orang.

Yang menarik dari cerita Pesugihan Kandang Bubrah itu, kalau mau kaya jangan ambil jalan singkat. Makannya banyak koruptor yang ditangkap, itu sangat sudah Setan Jawa Kandang Bubrah itu tidak bakal orang kaya yang mendadak akan bertahan lama.

Setiap ada pergelaran di Australia, Singapore, Jerman, Belanda terus di Inggris, semua terkesan sangat senang nontonnya.

Temanya bagus, di alam pedesaan terus ada gambaran ada musik orkestranya. Mudah-mudahan Maret bisa ke Paris bawa Setan Jawa lagi.

Apa tantangan terbesar bagi Rektor ISI?

Ya itu tadi, Setan Jawa juga filosofinya anak sekarang itu senangnya cepat, jalan pintas, pintar tapi ga mau belajar, kaya tapi tak mau bekerja, nah itu tantangannya.

Yang kedua, ISI itu adalah Perguruan Tinggi Negeri Seni, nah tantangannya itu. Seni itu ada karakternya sendiri, kami ada 7 Perguruan Tinggi Negeri Seni di Indonesia.

Perguruan Tinggi Negeri Seni di Indonesia yang menangani 280 juta masyarakat dengan ratusan seni budaya diserahi oleh pemerintah untuk menjaga dan melestarikan seni tradisi sekaligus pengembangannya. (rad-bersambung)

Berita Terkini