TRIBUNJATENG.COM - Bulan Agustus menjadi bulan yang penting dan penuh sejarah bagi bangsa Indonesia, termasuk bagi Kapten CPM Purn Sanjoto.
Hal ini karena Kapten Sanjoto merupakan satu dari pejuang kemerdekaan RI yang masih ada hingga sekarang.
Meski kini usianya telah menginjak 92 tahun, Sanjoto masih ingat betul perjuangannya ikut membela tanah air.
Ditemui di rumahnya yang beralamat di Jalan Belimbing Raya no 34, Peterongan, Semarang, Kapten Sanjoto membagi kisahnya saat pertama kali berjuang melawan penjajah.
Baca juga: Presiden Jokowi Terima Skuat Timnas U16 di Istana Merdeka Sebelum Upacara, Ini Pesannya
Baca juga: Warga Timbulsloko Demak Gelar Upacara Bendera di Tengah Banjir Rob, Minta Pemerintah Hadir Membantu
Sanjoto memulai perjuangan di kota kelahirannya, Solo pada tahun 1942 yang saat itu dikuasai oleh penjajah Jepang.
Dirinya tergabung dalam organisasi Kepemudaan Surakarta.
Saat Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Amerika, membuat tentara Jepang kocar-kacir, termasuk di Solo.
Hal itupun dimanfaatkan oleh para pemuda untuk menyerbu tentara Jepang.
"Setelah ditunggu beberapa saat tidak ada reaksi dari Jepang, kita dibentuk kelompok untuk menyerbu markas Jepang dan sekitarnya.
Kebetulan saya dapat tugas menyerbu Kempeitai. Kita masuk ke markasnya banyak tentara harakiri (bunuh diri)" papar Sanjoto.
Pada tahun 1945 tepatnya tanggal 17 Agustus, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamatirkan kemerdakaan Republik Indonesia.
Saat itulah organisasi kepemudaan seperti PETA dan Hero diubah menjadi Badan Keamanan Rakyat atau BKR.
Lalu disempurnakan menjadi TNI hingga saat ini.
Meskipun sudah merdeka, namun perjuangan Sanjoto dan lainnya belum selesai begitu saja.
Tahun 1946, Belanda masih saja kembali ingin menjajah Indonesia.
Komando pun memerintahkan dengan tegas separuh kekuatan TNI dan rakyat menunju batas demarkasi atau batas pemisah, yang ada di Jawa Tengah dengan Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan Jawa Barat.
Belanda yang melihat barisan tentara dengan bambu runcing lantas mundur.
"Belanda yang melihat pagar betis bambu runcing ratusan bahkan ribuan tentara, tanpa komanda balik kanan, sehingga kita aman dari perang kemerdekaan pertama," lanjut Sanjoto.
Perang melawan Belanda terus bergulir hingga pecah perang kedua atau perang gerilya tahun 1948.
Perang gerilya ini pun sangat berkesan bagi Sanjoto karena ia mendapat mandat khusus dari Panglima Kodam (Pangdam) Diponegoro, Kolonel Gatot Soebroto untuk mengawal Jenderal Soedirman.
Sanjoto dan rekannya pun mengawal rombongan Jenderal Soedirman yang waktu itu melintas di wilayah Kabupaten Wonogiri, tepatnya di Jumapolo.
Masih teringat jelas di benak Sanjoto jika sang Jenderal saat itu dalam kondisi sakit dan harus ditandu.
Namun Jenderal Soedirman masih bersemangat sehingga membuat Sanjoto terkesan.
Perjuangan Sanjoto dan rekannya yang sangat gigih membuat tentara Belanda kewalahan.
"Akhirnya mendekati akhir tahun 1949, Belanda merasa kewalahan menghadapi perang gerilya. Minta gencatan senjata.
Tapi oleh komando diperintahkan rebut kembali Kota Wonogiri dan Surakarta,"
Bertepatan dengan permintaan gencatan senjata, PBB yang tengah mengadakan Konferensi Meja Bundar juga memberikan perintah pada Belanda untuk angkat kaki dari Indonesia.
"Persis komando dari panglima begitu, ada siaran dari markas besar PBB yng waktu itu mengadakan konferensi meja bundar, memerintahkan ke Belanda, tentara Belanda angkat kaki dari negeri ini,"
Bukan tanpa alasan, PBB mengeluarkan keputusan itu karena tahu bahwa tentara nasional Indonesia, polisi dan kekuatan anak-anak serta rakyat masih solid.
Sehingga bisa melumpuhkan pemberontakan yang terjadi di dalam negeri serta melumpuhkan Belanda tanpa minta bantuan dari luar negeri.
Pada tahun 1955 Sanjoto pernah mengawal Presiden Soekarno saat berkunjung ke Tegal.
"Pada waktu itu Bung karno lewat jalur darat dari Jakarta, saya jemput di perbatasan Jawa Tengah Jawa Barat," paparnya sambil menunjukkan fotonya saat mengawal Soekarno.
Selain berperang melawan penjajah asing, Sanjoto juga ikut memburu gembong PKI DN Aidit.
Dirinya diperintahkan oleh sang komandan untuk menggerebek sebuah rumah di Peterongan, Semarang.
Dimana rumah itu akan dijadikan sebagai tempat transit dari DN Aidit dari Jakarta.
Kini rumah itu telah menjadi tempat tinggalnya selama puluhan tahun.
"Saya dulu tinggal di hotel, karena saya perwira. Komandan saya memberikan rumah itu kepada saya," ucapnya.
Namun sayang, hingga kini status kepemilikan rumah yang ditempati oleh Sanjoto masih belum jelas.
Sanjoto sempat mengurus hak atas rumah pada tahun 2004 namun belum ada kejelasan hingga sekarang.
Kini di usianya yang sudah tak lagi muda, Sanjoto berpesan kepada para pemuda untuk tidak melupakan sejarah.
Khususnya sejarah perjuangan para pahlawan saat melawan para penjajah.
"Kalau anak-anak muda sekarang sebagai penerus bangsa, itu saya angkat topi. Ininya betul-betul cerdas. Boleh dibanggakan, luar biasa anak-anak sekarang. Banyak yang sudah menjadi pimpinan. Itu kan sesuai sama kemauan presiden pertama. Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Itu yang penting, hiduplah sederhana, seperti aliran air," ujarnya. (*)