Dalam perkembangan selanjutnya, komposisi nilai manfaat terus membesar menjadi 19 persen (2011 dan 2012), 25 persen (2013), 32 persen (2014), 39 persen (2015), 42 persen (2016), 44 persen (2017) serta 49 persen (2018 dan 2019).
Karena Arab Saudi menaikkan layanan biaya masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji 2022 (jemaah sudah melakukan pelunasan), penggunaan dan nilai manfaat naik hingga 59 persen.
"Kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi dengan bijak," jelasnya.
Nilai manfaat, kata Hilman, bersumber dari hasil pengelolaan dana haji yang dilakukan BPKH.
Menurutnya, nilai manfaat adalah hak seluruh jemaah haji Indonesia, termasuk lebih dari 5 juta yang masih menunggu antrean berangkat.
Mulai sekarang dan seterusnya, menurut Hilman, nilai manfaat harus digunakan secara berkeadilan untuk menjaga keberlanjutan.
Apalagi, Hilman mengungkapkan kinerja BPKH juga masih belum optimal sehingga belum dapat menghasilkan nilai manfaat ideal.
Jika pengelolaan BPKH tidak kunjung optimal serta komposisi Bipih dan NM masih tidak proporsional, maka nilai manfaat akan terus tergerus dan tidak menutup kemungkinan akan habis pada 2027.
"Jika komposisi Bipih (41 persen) dan NM (59 persen), dipertahankan, diperkirakan nilai manfaat habis pada 2027 sehingga jemaah 2028 harus bayar full 100 persen," ucap Hilman.
"Padahal mereka juga berhak atas nilai manfaat simpanan setoran awalnya yang sudah lebih 10 tahun," jelas dia.
Untuk itulah, kata Hilman, Pemerintah dalam usulan yang disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas saat Raker bersama Komisi VIII DPR, mengubah skema menjadi Bipih (70 persen) dan NM (30 persen).
"Mungkin usulan ini tidak populer, tapi Gus Men lakukan demi melindungi hak nilai manfaat seluruh jemaah haji sekaligus menjaga keberlanjutannya," tegasnya.
"Ini usulan pemerintah untuk dibahas bersama Komisi VIII DPR. Kita tunggu kesepakatannya, semoga menghasilkan komposisi paling ideal! Amiin," tandasnya. (Tribun Network/Reynas Abdial)
(tribun neetwork/reynas abdilla/tribun jateng cetak)