Oleh: Dwi Budi Rahayu, S.Pd., Guru SD Negeri Candisari Kec. Windusari Kab. Magelang
Pembelajaran matematika di jenjang pendidikan dasar (SD) secara umum memiliki tujuan agar siswa mampu dan terampil menggunakan matematika. Selain itu pembelajaran matematika dapat memberikan tekanan penataran nalar dalam penerapan matematika. Menurut Depdiknas (2001), kompetensi atau kemampuan umum pembelajaran matematika di sekolah dasar sebagai berikut: melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian beserta operasi hitung campurannya, termasuk yang melibatkan pecahan; menentukan sifat dan unsur berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas, dan volume; menentukan sifat simetri, kesebangunan, dan sistem koordinat; menggunakan pengukuran: satuan, kesetaraan antar satuan, dan penaksiran pengukuran; menentukan dan menafsirkan data sederhana, seperti: Ukuran tertinggi, terendah, rata-rata, modus, mengumpulkan dan menyajikannya; memecahkan masalah, melakukan penalaran, dan mengomunikasikan gagasan secara matematika.
Cara mencapai tujuan pembelajaran matematika tersebut, seorang guru hendaknya dapat menciptakan kondisi dan situasi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif membentuk, menemukan, dan mengembangkan pengetahuannya. Kemudian siswa dapat membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar dan mengkonstruksinya dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Jean Piaget, bahwa pengetahuan atau pemahaman siswa itu ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa itu sendiri.
Proses pembelajaran matematika perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius, sebab banyak hasil kajian ilmiah yang menunjukkan bahwa proses pembelajaran matematika di sekolah dasar masih belum menunjukan output yang memuaskan, termasuk di dalamnya hasil belajar matematika siswa di SD N Candisari Kec. Windusari Kab. Magelang. Kondisi yang menggambarkan pembelajaran matematika belum optimal adalah tingkat ketuntasan KKM kurang dari 50 persen serta rendahnya antusiasme siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.
Faktor yang menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika adalah penerapan metode pembelajaran matematika yang masih terpusat pada guru, sementara siswa cenderung pasif. Faktor lainnya adalah penerapan model pembelajaran konvensional, yakni ceramah, tanya jawab, dan pemberian tugas. Sistem pembelajaran yang demikian ini menyebabkan siswa tidak berpartisipasi aktif dalam mengikuti pembelajaran, sehingga siswa tidak dapat meningkatkan aktivitas belajar matematika untuk meningkatkan pengembangan kemampuannya.
Salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi belum optimalnya hasil belajar matematika di SD adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pembelajaran kooperatif tipe STAD mempunyai beberapa keuntungan dan kelamahan. Kuswadi (2004) menyebutkan beberapa keuntungan dan kelemahan dari pembelajaran kooperatif tipe STAD. Beberapa keuntungannya antara lain: setiap anggota kelompok mendapat tugas; adanya interaksi langsung antar siswa dalam kelompok; melatih siswa mengembangkan keterampilan sosial (social skill); membiasakan siswa menghargai pendapat orang lain; meningkatkan kemampuan siswa dalam berbicara dan berbuat, sehingga kemampuan akademiknya meningkat; memberi peluang kepada siswa untuk berani bertanya dan mengutarakan pendapat; memfasilitasi terwujudnya rasa persaudaraan dan kesetiakawanan; terlaksananya pembelajaan yang berpusat pada siswa, sehingga waktu yang tersedia hampir seluruhnya digunakan oleh siswa untuk kegiatan pembelajaran; memberi peluang munculnya sikap-sikap positif siswa.
Berdasarkan jabaran di atas bisa ditandaskan bahwa pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD secara ideal sesuai dengan sintaks pelaksanaannya secara efektif bisa meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran matematika sehingga hasil belajarpun akan mengalami peningkatan.