Tadarus

Sanad dan Jaringan Intelektual Pesantren

Editor: m nur huda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ditulis Oleh DR H Ahmad Dimyati, MAg (Asisten Ahli Majelis Masyayikh Dosen Institut Pesantren Mathali’ul Falah, Kab Pati)


Ditulis Oleh DR H Ahmad Dimyati, MAg (Asisten Ahli Majelis Masyayikh Dosen Institut Pesantren Mathali’ul Falah, Kab Pati)

TRIBUNJATENG.COM - RAMADAN di Indonesia ditandai dengan fenomena unik, yaitu maraknya kajian keagamaan di kalangan umat Islam. Berbagai kelompok masyarakat menyelenggarakan kajian dengan pendekatan yang beragam, dari yang formal hingga yang dikemas dengan acara hiburan.

Salah satu kajian yang khas terdapat di pesantren dalam bentuk pengajian kitab kuning atau yang dikenal dengan “posonan”. Sekalipun aktifitas utama pesantren memang mendalami Islam melalui literatur kitab kuning, akan tetapi pada bulan Ramadan intensitasnya lebih tinggi. Selama Ramadan, pesantren dapat menyelenggarakan pengajian kuning mulai bakda subuh hingga tengah malam. Ada beberapa ciri khas yang membedakan kajian kitab kuning pada bulan Ramadan dengan bulan-bulan lain;

Pertama, selama Ramadan ditandai dengan orientasi untuk mengkhatamkan kitab yang dibaca. Tidak jarang pemahaman terhadap bacaan dikesampingkan karena mempertimbangkan alokasi waktu yang tersedia. Dalam satu sesi bacaan kitab kuning yang biasanya berlangsung kurang lebih satu sampai dua jam tidak memungkinkan bagi guru yang bertindak sebagai pembaca kitab (qari’) menjelaskan makna bacaan secara detil.

Apalagi biasanya pelaksanaan program posonan tidak berlangsung selama sebulan penuh. Tetapi justru hal ini yang menarik minat santri mengikuti posonan. Sebab di luar Ramadan, kesempatan mengkhatamkan bacaan satu kitab dapat berlangsung sangat lama sampai hitungan tahun.

Kedua, pilihan kitab mengutamakan literatur tradisional yang secara turun-temurun dikaji di pesantren. Secara umum literatur kitab kuning yang dibaca pada bulan Ramadan dapat diklasifikasi ke dalam beberapa bidang kajian keislaman, yaitu al-Qur’an dan Tafsir, Hadits, Fikih, dan Tasawuf. Setiap bidang kajian ini memiliki standar referensi kitab yang dibaca, seperti Tafsir Jalalain, Riyadhus Shalihin, Fathul Mu’in, Ihya ‘Ulumiddin dan sebagainya.

Kitab-kitab tersebut merupakan literatur tradisional yang dapat ditemukan hampir pada semua pesantren di Indonesia. Tidak jarang santri juga telah mempelajari kitab-kitab tersebut sebelumnya. Meskipun demikian, literatur inilah yang selalu menjadi primadona pada bulan Ramadan dengan sesekali disisipi kajian literatur kontemporer sebagai pelengkap.

Ketiga, menjaga kesinambungan sanad (silsilah) keilmuan pesantren. Kedudukan sanad dalam pesantren sangat penting karena menjadi metode untuk menjaga otentisitas keilmuan pesantren. Hal ini dikarenakan sanad biasanya membentuk mata rantai yang menyambungkan pengkaji kitab kepada guru-gurunya yang dapat dilacak sampai kepada penulis kitab, bahkan hingga kepada Rasulullah SAW.

Ketersambungan sanad ini memberikan otoritas khusus kepada pengkaji kitab untuk membaca ulang atau mengajarkan kepada orang lain. Otoritas ini tidak dimiliki seseorang yang menempuh cara belajar sendiri (otodidak), sekalipun menguasai isi kitab tersebut dengan baik.
Tradisi sanad yang diterapkan pada gilirannya membentuk jaringan intelektual pesantren.

Dalam berbagai literatur, sanad kitab-kitab yang dikaji pada pesantren di Indonesia memiliki kesinambungan dengan para penulis di Timur Tengah melalui dua ulama nusantara terkemuka yang hidup ada akhir abad XIX dan awal abad XX, yaitu Syaikh Mahfudh at-Tarmasi (Pacitan, 1868-1920) dan Syaikh Yasin al-Fadani (Makkah, 1917-1990).

Kedua tokoh tersebut menjadi guru bagi ulama-ulama besar seperti Syaikh Hasyim Asy’ari, Syaikh Ihsan al-Jampasi, dan Syaikh Kholil dimana ketiganya berguru langsung kepada Syaikh Mahfudh at-Tarmasi. Sementara ulama yang berguru kepada Syaikh Yasin al-Fadani terdapat nama-nama popular seperti KH. Mahrus Ali, KH. Abdul Basyir Hamzah, KH. Sahal Mahfudh dan masih banyak lagi.

Mereka ini dikenal sebagai pendiri dan pengasuh berbagai pesantren besaar di Indonesia. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa selain menjadi metode untuk menjaga otentisitas keilmuan, sanad juga membentuk jaringan intelektual pesantren di Indonesia. Wallahu a’lam. (*tribun jateng cetak)

Berita Terkini