TRIBUNJATENG.COM, KENDAL - Sigit Wijanarko (27) menyalakan mesin penggiling kopi untuk menghaluskan puluhan biji robusta khas kampung Gunungsari, Ngesrep Balong, Kabupaten Kendal.
Suara menggeram dari mesin kopi beradu dengan suara sejumlah satwa burung dan kera di kawasan atap kabupaten Kendal tersebut.
Sewaktu hari beranjak gelap, Sigit kemudian menyalakan lampu dari sakelar yang berada di sudut ruangan utama Kedai Kopi Pucu’e Kendal (KPK).
Tak dinyana, ternyata sumber listrik untuk menyalakan mesin kopi dan lampu di tempat itu bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).
Baca juga: Kuliner Khas Blora Ayam Bakar Kampung Mak Gogok, Rasanya Nggak Kampungan
"Kedai terdapat 50 lampu, dua mesin grender, cas handphone, dan barang elektronik lainnya. Semua kebutuhan listrik di kedai ini disuplai dari PLTMH. Hasilnya, kami irit Rp500 ribu perbulan tak perlu bayar listrik," terang Manajer Kedai Kopi Pucu’e Kendal, Sigit Wijanarko kepada Tribun Jateng, Minggu (2/7/2023).
Kedai kopi tersebut berada di kawasan pegunungan Kabupaten Kendal yakni di ketinggian 960 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Sedari awal kedai didirikan pada Januari 2020, konsep kedai memang berinisiatif mandiri energi yakni memanfaatkan sumber air untuk diubah menjadi tenaga listrik.
Warga sekitar sudah akrab dengan teknologi pembangkit listrik tenaga air lantaran di dekat kampung mereka yakni Medini dan Promasan telah mengembangkan teknologi PLTMH secara sederhana untuk menyiasati kebutuhan listrik yang dahulunya belum terjangkau PLN akibat daerah terpencil.
"Cita-cita awal mendirikan kedai KPK ini untuk memberikan edukasi sekaligus wisata mandiri energi," cetus Sigit.
Dari mandiri energi, ia melanjutkan, diharapkan mampu menggerakan ekonomi warga sekitar.
Sebab, kedai Kopi Pucu’e Kendal telah menampung hasil olahan produk UMKM dari warga sekitar.
Produk-produk tersebut di antaranya Kopi merek Endemix khas Gunungsari, ceriping, dan olahan khas Manisan jipang (Majipa).
“Wisata juga jalan karena kedai KPK dekat dengan curug Lawe Secepit,” paparnya.
Perpaduan antara wisata mandiri energi melalui kedai dengan pesona alam berupa curug tak heran membuat angka kunjungan di tempat tersebut terhitung tinggi.
Setiap akhir pekan pada Jumat, Sabtu dan Minggu, pengunjung mampu di angka 200-300 orang. Sedangkan pada hari biasa di angka 50-100 pengunjung.
"Omzet kotor Rp20 juta sampai 30 juta perbulan pas momen bulan liburan, ketika bulan-bulan biasa 10-15 juta," ungkapnya.
Pengelola kedai sekaligus anggota Pokdarwis Pucu’e Kendal, Ahmad Syarifudin (29) menjelaskan, terdapat 10 pelaku UMKM yang aktif menyetorkan produknya ke kedainya.
"Mereka sebagian adalah petani sampingan bikin makanan kecil lalu dititipkan di kedai," katanya.
Ia menegaskan, konsep perpaduan antara kedai kopi dan PLTMH dari awal diharapkan mampu menciptakan kemandirian energi yang berdampak terhadap kemandirian ekonomi warga sekitar.
Oleh karena itu, hasil kedai sepenuhnya disalurkan untuk kepentingan warga, mulai dari untuk membayar para UMKM, kas dusun, pemilik lahan, dan lainnya.
"Misal hasil 100 persen kita bagi ke pemilik lahan yang dilewati untuk jalan, upah teman-teman yang fokus di kedai, Ya ada kemandirian energi untuk kemandirian ekonomi warga,” imbuh pemuda yang akrab disapa Udin.
Kedai Pucu’e Kendal diinisiasi oleh para pemuda kampung berangkat dari semangat memajukan lingkungan.
Mulanya, para pemuda gemas hanya menjadi penonton ketika banyak wisatawan lewat Gunungsari hanya untuk ke Medini.
“Kami lalu berinisiatif memajukan kampung karena bosan kampung kami hanya dilewati terus oleh wisatawan," jelasnya.
Setelah berproses hampir lima tahun terakhir, banyak manfaat yang dirasakan oleh para warga.
Udin sendiri mengaku, tak perlu lagi kerja jauh. Ia dahulu kerja di sebuah perusahaan logistik di kawasan Candi, Kota Semarang.
Imbasnya, ia harus hidup ngekos di kota dengan penghasilan UMR dan hari libur yang terbatas.
"Setelah kampung ini fokus garap wisata, ada belasan remaja yang tak perlu kerja merantau. Termasuk saya, sekarang enak bisa kerja di kampung dan jam kerja fleksibel. " paparnya.
Dari kedai Kopi Pucu’e Kendal sebagian warga bisa terbantu secara ekonomi sehingga tidak terlalu tergantung ke perusahaan-perusahaan.
Artinya, warga bisa berdikari di tanah sendiri sekaligus dapat membangun kampung lebih baik dan tertata.
"Ya intinya bisa menangkap peluang di lingkungan masing-masing. Seperti di kampung kami, dari upaya mandiri energi untuk mandiri ekonomi," ungkapnya.
Mandiri Energi untuk Wisata Edukasi
Kemandirian energi untuk kemandirian ekonomi yang digalakkan warga Gunungsari, Ngesrep Balong selaras dengan tujuan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang proaktif membuka pintu investasi untuk energi terbarukan demi mencapai target yang telah ditetapkan serta menjaga daya saing ekonomi daerah.
Kabid EBT ESDM Jateng, Eni Lestari menjelaskan, EBT di skala masyarakat masih terhitung penting.
Ia mengklaim, Pemprov Jateng memiliki semangat untuk mendongkrak ketahanan energi.
Penguatan ketahanan energi tersebut berbasis masyarakat.
"EBT basis masyarakat penting, makanya dalam rangka percepatan EBT di Jateng kita kerjasama dengan IESR," ungkapnya.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Tengah, Sakina Rosellasari menuturkan, Jawa Tengah memiliki rencana umum penanaman modal (RUPM) di antaranya menjadi arah kebijakan penanaman modal yang berwawasan lingkungan (green investment).
Berdasarkan catatan DPMPTSP, terdapat 690 izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri (IUPTLS), dan jumlah IUPTLS atap dan uap sekitar 17 hingga Juni 2023.
Terdapat beberapa proyek yang siap ditawarkan dalam sektor energi terbarukan di Jawa Tengah di antaranya pembangunan pembangkit listrik tenaga minihidro Banjaran dan Logawa di Kabupaten Banyumas.
Kemudian pembangunan PLTS terapung Waduk Wadaslintang, pengembangan pembangkit listrik tenaga geothermal di Candi Umbul Telomoyo, dan Baturaden, Kabupaten Banyumas.
"Realisasi investasi di Jawa Tengah diharapkan menjadi peningkatan pendapatan masyarakat, dengan penyerapan tenaga kerja,” ungkapnya.
Terpisah, Ketua Program Studi (Prodi) Magister Energi Sekolah Pascasarjana Undip Semarang, Dr. Ir Jaka Windarta . IPU mengatakan, energi alternatif seperti PLTMH di Gunungsari yang digunakan sebagai penggerak ekonomi warga melalui kedai mandiri energi patut dicontoh di daerah lain.
Sebab, PLTMH yang jamak dilakukan di daerah pegunungan lebih tepat digunakan untuk mendukung tempat wisata sehingga memiliki nilai lebih sebagai wisata edukasi.
"Jadi Wisata edukasi yang manfaatnya dapat dipetik oleh warga sekitar," ungkapnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, Jawa Tengah memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, khususnya energi surya.
Berdasarkan studi IESR, jika 9 juta bangunan rumah memasang PLTS atap maka mampu menghasilkan 100 ribu megawatt (MW),dan apabila 35 kantor bupati dan walikota se-Jawa Tengah memasang PLTS atap maka akan menghasilkan sekitar 5 megawatt (MW) dari energi surya.
Potensi energi terbarukan di Jawa Tengah lainnya termasuk pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH), pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm), di luar pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Jawa Tengah, mencapai 198 megawatt (MW).
Ketersediaan energi terbarukan saat ini menjadi faktor utama daya tarik investasi.
Untuk itu, apabila ingin meningkatkan daya saing investasi di Jawa Tengah maka perlu meningkatkan ketersediaan pasokan energi hijau, ini menjadi indikator baru bagi investor.
"Potensi sumber energi terbarukan yang besar tidak akan tercapai jika tidak ada pendanaan untuk pengembangannya,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Tribun, Selasa (4/7/2023). (Iwn)