TRIBUNJATENG.COM, SIDOARJO - Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, rencana pengenaan tarif cukai tinggi pada minuman berpemanis mulai 2024 adalah demi mengendalikan efek samping dari konsumsi komoditas itu.
Menurut dia, Kemenkeu dalam hal ini mendukung program kesehatan yang digalakkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes), utamanya dari sisi fiskal.
"Karena kan apa sih tujuannya pengenaan cukai? Kan untuk mengendalikan konsumsi terhadap barang-barang yang menimbulkan eksternalitas negatif kan. Jadi pengenaan cukai itu merupakan dukungan Kemenkeu terhadap program kesehatan," katanya, kepada wartawan di Kanwil DJBC Jawa Timur, Rabu (13/9).
Nirwala menuturkan, pengenaan tarif cukai tinggi pada minuman berpemanis itu juga untuk meminimalisir terjadinya kasus obesitas di tengah masyarakat Indonesia.
"Kalau minuman berpemanis itu Kemenkeu sesuai dengan tusi (tugas dan fungsi-Red) mendukung program Kemenkes. Efek-efek tadi kan misalnya, menyebabkan obesitas, diabetes melitus yang tipe 2 karena pola konsumsi kan," bebernya.
"Demikian juga misalnya seperti minuman berpemanis tadi, fungsinya Kemendikbud ya mendidik anak-anak kan, ‘hei, jangan konsumsi gula berlebihan’. Jadi kan nggak mungkin Kemenkeu ikut campur ke Kemendikbud," sambungnya.
Pelaksana di Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Kemenkeu, Boy Riansyah mengatakan, sejatinya pengenaan cukai itu mempertimbangkan keberlangsungan industri, dengan konsep tarif yang didesain untuk memancing industri melakukan reformulasi produknya.
Sehingga, dia menambahkan, konsep tarif cukai yang akan dikenakan pada minuman berpemanis dalam kemasan ini akan tergantung dari kandungan gula atau berpemanisnya. Semakin tinggi kadar gulanya, maka pemerintah akan mengenakan tarif cukai yang lebih tinggi pula.
"Jadi ketika minuman tersebut lebih tinggi kadar gulanya atau kadar pemanisnya, maka tarif cukai akan dikenakan tarif yang lebih tinggi," ucapnya, beberap waktu lalu.
Boy menyatakan, pengenaan tarif cukai tersebut sejalan dengan dampak yang diberikan dari produk berkadar gula tinggi tersebut. Pasalnya, semakin tinggi kadar gula dari produk minuman tersebut, maka semakin berbahaya pula bagi kesehatan.
"Sehingga tidak salah apabila produk-produk yang kadar gandungan gula atau pemanis lebih tinggi itu dikenakan tarif cukai yang lebih tinggi," tukasnya.
Menurut dia, hal ini bertujuan agar memancing industri untuk melakukan reformulasi produknya dengan kadar gula yang lebih rendah, sehingga lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat luas.
Sebagai informasi, rencana penerapan cukai berpemanis ini telah masuk dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024. Sehingga, pembahasannya masih akan terus dilakukan bersama DPR.
Pemerintah pun sudah mematok pendapatan dari cukai berpemanis sebesar Rp 3,08 triliun. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) RI No. 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2023. (Tribunnews/Nitis Hawaroh)