E-Commerce Wajib Lapor Data ke BPS, Kebijakan Ekonomi Digital Bisa Lebih Baik

Editor: Vito
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) akan mewajibkan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) menyampaikan berbagai data dan informasi terkait dengan transaksi perdagangan elektroniknya.

Aturan yang tertuang pada Peraturan BPS No. 4/2023 tentang Penyampaian dan Pengelolaan Data dan/atau Informasi PMSE itu akan mulai ditetapkan pada awal 2024.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS, Amalia Adininggar menyampaikan, BPS telah menyiapkan infrastruktur penyampaian data secara elektronik dengan fleksibilitas empat pilihan moda yang bisa diakses melalui platform Indonesia Data Hub (INDAH) atau melalui https://indah.bps.go.id/pmse.

“BPS telah menyiapkan infrastruktur penyampaian data secara elektronik dengan empat pilihan moda, yaitu formulir elektronik, unggah berkas, pertukaran data menggunakan mesin, dan kunjungan ke kantor BPS,” katanya, dalam Sosialisasi Peraturan BPS No. 4/2023, Senin (30/10).

Mengutip pada peraturan BPS No. 4/2023, terdapat delapan informasi yang wajib disampaikan PMSE kepada BPS. Yakni keterangan umum perusahaan, tenaga kerja, pendapatan dan pengeluaran, kategori produk, kategori wilayah, transaksi, metode pembayaran, dan jumlah penjual dan pembeli.

Nantinya, PMSE wajib memberikan data atau delapan informasi tersebut kepada BPS setiap 3 bulan sekali atau per kuartal.

Atas data yang diserahkan nantinya, Amalia menyatakan, BPS menjamin kerahasiaan data PMSE, sebab sudah dilindungi juga oleh UU No. 16/1997 Tentang Statistik.

“Oleh sebab itu tidak perlu khawatir, karena kerahasiaan data ini dilindungi oleh undang-undang. Juga kami selalu mengacu pada prinsip fundamental statistik negara sesuai dengan PBB (UN Fundamental Principles of official Statistics). Jadi kerahasiaan data kami jaga dari hulu hingga hilir,” bebernya.

Amalia mengungkapkan, aturan itu sejalan dengan perkembangan transaksi digital yang makin meningkat. Tren tersebut memberikan sebuah kebutuhan bagi otoritas untuk memiliki data yang akurat terkait dengan transaksi elektronik secara komprehensif.

“Karena penting bagi pemerintah untuk bisa merumuskan berbagai kebijakan berbasis data dan fakta yang akurat,” ungkapnya.

Sebagai otoritas statistik, BPS yakin pengumpulan data yang lebih komprehensif itu akan membuat pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang lebih konkrit untuk pelaku PMSE juga para konsumen.

"Dengan demikian, akan bermuara pada penguatan perkembangan ekonomi di masa depan, mengingat kontribusi ekonomi digital pada perekonomian cukup terlihat," jelasnya.

Lebih riil

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA), Bima Laga menyambut baik aturan baru yang ditetapkan BPS itu.

Sebab, menurutnya, data-data yang dikumpulkan oleh BPS akan memudahkan pelaku usaha untuk mengambil data yang lebih riil yang dikelola dalam negeri.

Dia menambahkan, hal itu mengingat selama ini pengusaha hanya mengacu pada data seperti yang bersumber dari Google, maupun data dari Temasek.

“Keluarnya aturan ini, tahap selanjutnya adalah sosialisasi dan pengaplikasiannya. Bagaimana sosialisasi bukan hanya kepada anggota IdEA, tetapi kepada semua yang belum menjadi anggota bisa juga dilibatkan dan disosialisasikan, sehingga data yang timbul selama ini itu menjadi komprehensif,” katanya, dalam Sosialisasi Peraturan BPS No. 4/2023, Senin (30/10).

Bima juga menyarankan agar aturan itu tidak hanya berlaku pada PMSE, namun kepada platform bisnis digital secara keseluruhan. Misalnya pada platform bisnis digital travel dan juga kesehatan.

Dengan terkumpulnya data ekonomi digital secara keseluruhan itu, dia menambahkan, pemerintah juga bisa melihat secara keseluruhan dan potensi-potensi yang bisa dikembangkan dari bisnis digital tersebut, dan tidak hanya fokus pada bisnis e-commerce.

“Sebenarnya sektor-sektor itu (selain e-commerce-Red) juga mempunyai potensi untuk digabungkan menjadi sebuah ekonomi digital, sehingga pemerintah bisa bagus dalam pengambilan keputusan,” ucapnya.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, dengan diwajibkannya penyetoran data tersebut akan menghasilkan data yang lebih riil, terutama dampak dari PMSE terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Karena selama ini kan metode dari berbagai lembaga untuk menghitung potensi ekonomi digital dari perdagangan online masih berdasarkan data sekunder dan asumsi,” tuturnya, kepada kontan.co.id, Selasa (31/10).

Ia berujar, selama ini masalah seperti sepinya penjualan di mal atau di pusat perbelanjaan selalu dilimpahkan karena konsumen beralih belanja melalui e-commerce. Padahal, belum ada data yang pasti faktornya hanya karena e-commerce.

“Padahal porsi e-commerce di China saja hanya 6 persen terhadap PDB. Jadi perlu ada data yang lebih rinci untuk melihat porsi e-commerce terhadap total retail nasional dan PDB untuk memetakan kebijakan yang pas,” terangnya.

Selain itu, Bhima menyebut, manfaat dari data tersebut adalah tren dari PMSE terutama porsi barang impor dan jumlah penjual yang lebih aktual akan mendorong kebijakan pengawasan lebih berkualitas.

Ia berharap dengan adanya data lengkap dari PMSE itu akan ada sinkronisasi antara data BPS dengan data perpajakan untuk menghitung ulang potensi pajak dari transaksi PMSE. (Kontan.co.id/Siti Masitoh)

 

Berita Terkini