TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) diperkirakan telah mencapai 19,5 juta orang dengan peningkatan dua kali lipat terhadap kasus DM tipe 2 yang diderita oleh usia muda.
Penyebab utama pada DM tipe 2 tidak lain adalah obesitas. Data Riskesdas pada 2018 menunjukkan 3 dari 10 populasi Indonesia sudah mengalami obesitas.
Tingginya konsumsi gula penduduk Indonesia, tertinggi nomor 3 di ASEAN pada tahun 2022. Sekitar 5,5 persen penduduk mengonsumsi lebih dari 50 gram gula per hari.
Tahun 2019 Kemenkeu dan Kemenkes mengkaji aturan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Tujuannya untuk menekan laju konsumsi gula berlebih yang dapat menyebabkan diabetes dan prevalensi penyakit menular yang mematikan tersebut.
Tingkat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di Indonesia memprihatinkan. Faktor pengetahuan masyarakat tentang dampak mengkonsumsi MBDK secara berlebih masih minim.
Hal itu terungkap saat pemaparan lembaga perlindungan konsumen dari lima kota secara daring yang dilaksanakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sabtu (27/1/2024).
Lima kota yang memaparkan yakni Medan, Lampung, Makassar, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta.
Ketua Yayasan Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Jateng, Abdun Mufid menjelaskan tingkat konsumsi MBDK di Kota Semarang sangat memprihatinkan. Konsumen mengkonsumsi MBDK dilakukan secara berlebihan.
"Hasil survei menyebutkan 40 persen mengonsumsi MBDK setiap hari, 20 persennya mengkonsumsi dua hingga enam kali dalam waktu seminggu," kata Abdun Mufid.
Begitu juga anak mengkonsumsi MBDK dinilainya juga memprihatinkan. 11,25 persen anak mengkonsumsi MBDK setiap hari, 27,05 persen mengkonsumsi 2 hingga 6 kali dalam waktu seminggu.
"Faktor yang menjadi preferensi konsumen dalam mengkonsumsi MBDK di Kota Semarang terbesar adalah faktor harga, rasa dan penasaran," jelasnya.
Menurutnya, konsumsi MBDK yang tinggi tentu membawa dampak buruk bagi kesehatan. Batasan konsumsi gula yang direkomendasikan WHO maksimal 50 gram per hari.
"Padahal diluar MBDK, konsumen juga mendapat asupan gula dari berbagai jenis makanan yang dikonsumsi, sehingga total kadar gula yang masuk ke dalam tubuh konsumen setiap hari cenderung berlebihan," tuturnya.
Abdun menjelaskan tingginya konsumsi MBDK beresiko munculnya berbagai macam penyakit tidak menular yakni obesitas dan diabetes militus.
Berdasarkan data tahun 2023 Kota Semarang, jumlah penderita diabetes militus yang tercatat mencapai 5.661 penderita.
"Jika konsumen gagal mengendalikan konsumsi gula dimana MBDK merupakan salah satu sumbernya, bukan tidak mungkin angka tersebut akan terus meningkat," tandas Abdun.
Oleh sebab itu perlu dilakukan pengendalian MBDK di Kota Semarang yakni mengedukasi konsumen pentingnya mengendalikan mengkonsumsi MBDK, memberikan informasi kandungan gula pada label MBDK.
Kemudian peringatan dampak kesehatan dari konsumsi gula berlebihan, penerapan cukai MBDK, Regulasi penerapan dan pengawasan yang komprehensif terkait pengendalian konsumsi MBDK.
"Mendorong Pemerintah Daerah untuk mewujudkan kebijakan pengendalian konsumsi MBDK di daerahnya, misalnya melalui instrumen kebijakan kantin sehat tanpa MBDK di sekolah untuk melindungi anak terpapar MBDK dan juga tidak iklan MBDK di area sekolah," tandasnya.
Gaya Hidup
Sementara itu, Ketua YLKI, Tulus Harapan menyimpulkan penyakit tidak menular dikarenakan gaya hidup minum manis, merokok, dan tidak berolahraga. Oleh sebab itu perlu dikendalikan dengan cara memberi cukai.
"Kita dorong agar pemerintah memberanikan diri untuk memberikan cukai. Agar konsumen dapat mengurangi konsumsi dan beralih ke menu-menu minuman yang lebih sehat," ujarnya.
Menurutnya, MBDK tidak hanya berdampak kesehatan tetapi juga dampak lingkungan. Oleh sebab itu perlu mereduksi kemasan minuman berbasis plastik.
"Saya pernah baca kajian 1 botol MBDK menghasilkan emisi 1,3 liter BBM dari kendaraan kita. Jadi 1 botol MBDK emisinya lebih tinggi dibandingkan menggunakan BBM untuk kendaraan kita," tuturnya.
Tulus mengatakan mengurangi mata rantai keterpaparan masyarakat khususnya anak-anak dan remaja terhadap MBDK harus dilakukan pengendalian marketing maupun promosi.
"Selain itu juga menggelorakan kantin tanpa MBDK atau kawasan tanpa MBDK," tuturnya.
Dikatakannya upaya pengendalian konsumsi MBDK harus diperkuat adanya Perda maupun Perwal maupun Pergub.Oleh sebab itu Pemerintah tidak perlu ragu, karena tuntutan publik sangat kuat untuk mengendalikan konsumsi MBDK.
"Hasil survei kami, 58 persen masyarakat Indonesia mendukung adanya cukai MBDK," ujarnya.
Pihaknya memfasilitasi masyarakat untuk menyampaikan surat kepada Presiden maupun Menteri Perdagangan agar dapat memberikan cukai di MBDK.
"Saat ini sudah ada 60 lembaga untuk memberikan dorongan pengenaan cukai MBDK di Indonesia," imbuhnya.
Pemberlakuan Cukai
Berdasar hasil survei tersebut, masyarakat tinggi konsumsi MBDK dipicu oleh kemudahan akses terhadap produk-produk minuman berpemanis dalam kemasan itu.
Warung atau toko kelontong di sekitar rumah menjadi pilihan utama pembelian, karena jarak dan waktu tempuh yang singkat. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak adanya aturan produksi dan distribusi.
Regulasi yang mengatur pemasaran produk-produk berpemanis kepada anak-anak dan remaja dapat membantu mengurangi dampak pemasaran agresif.
Rasa penasaran dan preferensi rasa - 32,4 persen responden menyebutkan bahwa mereka memilih MBDK karena penasaran dan 27,1 persen karena rasa menjadi faktor motivasi utama dalam membeli MBDK. Namun, harga tetap menjadi faktor dominan dalam keputusan konsumen - 14,1 persen.
Pemasaran yang agresif dari industri minuman berpemanis dalam kemasan, termasuk promosi di media sosial dan iklan televisi, telah mendorong minat dan konsumsi masyarakat terhadap produk-produk ini.
Dengan pengenaan cukai pada MBDK ini maka akan dapat mengurangi beban pembiayaan pemerintah terhadap penanganan penyakit tidak menular yang ditimbulkan seperti diabetes.
Tarif cukai yang terlalu rendah tidak akan menimbulkan dampak yang diinginkan sehingga tarif cukai harus menimbulkan dampak yang signifikan terhadap pola konsumsi
Pendapatan cukai MBDK itu bisa dialokasikan untuk meringankan beban BPJS Kesehatan, kemudian, upaya pencegahan dan sosialisasi untuk mengurangi ketergantungan pada MBDK. Perlu ada regulasi yang mengatur penggunaan pemanis buatan pada industri, untuk dapat memonitor beralihnya industri pada pemanis buatan.
Pemahaman masyarakat tentang cukai masih terbatas, tetapi mayoritas responden mendukung penerapan cukai pada MBDK sebagai upaya pengendalian konsumsi.
Peningkatan pemahaman ini dapat mempengaruhi keputusan pembelian dan perilaku konsumsi. Selain itu, perlu ada strategi untuk mengatasi persepsi bahwa konsumsi MBDK tidak berpengaruh buruk pada kesehatan. (tim/tribun jateng cetak)