Pemilu 2024

Gerindra Hanya Urutan ke-3 Pileg, Padahal Prabowo-Gibran Juara Pilpres Versi Quick Count, Mengapa?

Editor: Muhammad Olies
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming menggelar pidato kemenangan lewat live streaming Youtube Prabowo Gibran, yang digelar di Istora Senayan, Rabu (14/2/2024)

TRIBUNJATENG.COM - Hasil Pilpres dan Pileg 2024 ternyata tak selalu sejalan. Paslon yang berjaya di Pilpres belum tentu parpol yang mengusungnya menang di Pileg 2024.

Berdasar quick count atau hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, PDIP diprediksi masih menjadi pemenang Pileg 2024.

Namun paslon yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo - Mahfud MD keok, bahkan berada di posisi buncit dari tiga paslon peserta Pilpres 2024.

Hal yang sama juga dialami Gerindra. Hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga menempatkan paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, di urutan pertama.

Menurut quick count Litbang Kompas per Kamis (15/2/2024) pukul 21.19 WIB dengan jumlah data masuk 98,05 persen, Prabowo-Gibran unggul dengan perolehan 58,47 persen suara.

Sementara, pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, berada di urutan kedua dengan 25,32 persen suara. Sedangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 3, Gajar Pranowo-Mahfud MD, di urutan buntut dengan persentase suara 16,21 persen.

Namun, tingginya perolehan suara Prabowo-Gibran tersebut tak sejalan dengan perolehan suara Partai Gerindra, partai pimpinan Prabowo.

Mengacu quick count Litbang Kompas per Kamis (15/2/2024) pukul 21.30 WIB dengan data masuk 95,95 persen, Gerindra mendulang 13,54 persen suara.

Ini menempatkan Gerindra di urutan ketiga Pemilu Legislatif (Pileg) 2024. Perolehan suara tersebut tidak lebih unggul dari PDI Perjuangan (16,21 persen) dan Partai Golkar (14,61 persen).

Lantas, mengapa suara Prabowo tinggi sedangkan perolehan angka Gerindra tak lebih unggul dari PDI-P dan Golkar?

Baca juga: 8 Parpol Ini Diprediksi Lolos Senayan, Hasil Quick Count: PDIP Juara 1, Gerindra Nomor 3

Baca juga: PUKUL 22.00 WIB : Hasil Real Count Pilpres 2024 KPU: Pasangan Prabowo Gibran Sementara 25.018.445

Peneliti Litbang Kompas Vincentius Gitiyarko memberikan penjelasan terkait ini. Pertama, mengenai tingginya perolehan suara Prabowo-Gibran, ini tak lepas dari besarnya angka pemilih loyal Prabowo.

Prabowo yang pernah berkontestasi sebagai capres pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 memiliki pendukung yang sangat aktif, bahkan terkesan fanatis.

“Jadi Prabowo itu punya pemilih militan, apa pun yang dilakukan Prabowo itu setuju-setuju saja,” kata Totok, demikian sapaan akrab Vincentius, dalam program Obrolan Newsroom Kompas.com, Rabu (14/2/2024) malam.

Besarnya basis massa Prabowo ini ditambah dengan banyaknya massa pendukung Gibran. Gibran sendiri memiliki pendukung yang besar karena Wali Kota Solo itu diasosiasikan dengan sang ayah, Presiden Joko Widodo.

Gabungan dari basis massa dua sosok tersebut melahirkan dukungan yang besar, di kisaran 50 persen.

Modal tersebut diperkuat dengan taktik kampanye Prabowo-Gibran, yang secara tidak langsung melibatkan cawe-cawe Jokowi.

Dengan bekal tersebut, tak heran jika kini Prabowo-Gibran unggul di kisaran perolehan suara 58 persen.

“Bangunan dukungan yang disusun terlalu kuat menggunakan modal sosial yang sudah ada, ditambah dengan modal elektoral dari Jokowi, ditambah dengan manuver politik yang tajam. Makanya itu enggak goyah,” ujar Totok.

Baca juga: Gerindra Jateng Temukan Surat Suara Yang Sudah Tercoblos Sebelum Pelaksanaan Pencoblosan

Sementara, mengenai suara Gerindra yang tak unggul di pileg, Totok menduga ini berkaitan dengan faktor ideologi partai.

Totok bilang, secara teoritik, seseorang memilih partai politik karena alasan ideologi, kesamaan pandangan, atau lainnya.

Bisa jadi, suara Gerindra tidak unggul lantaran secara ideologis sudah tak terlalu menarik.

“Mungkin karena secara ideologis dia sudah enggak terlalu menarik. Artinya, bukan dalam arti tidak menarik bagaimana, tetapi pemilih partai nasionalis yang lain, dia tidak terlalu tertarik untuk pindah partai, dia lebih pada soal (pilihan) presidennya saja,” terang Totok.

Ketimbang Gerindra, pemilih partai nasionalis lebih banyak menjatuhkan pilihan ke Partai Golkar. Ini terbukti dari naiknya perolehan suara partai beringin tersebut menurut hasil quick count.

Bisa jadi, ini karena kampanye yang dilakukan Golkar lebih masif dan efektif ketimbang Gerindra.

“Di antara partai partai nasionalis ini berpindahnya relatif menjadi lebih sulit karena faktor daya tarik sudah kurang. Bagi pemilih, tinggal daya tarik praktikal yang sifatnya rasional, ekonomis sehari-hari,” tutur Totok.

 
Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Berita Terkini