TRIBUNJATENG.COM, GAZA - Pasukan Israel pada Selasa (26/3) terus memerangi kelompok Hamas. Israel juga tidak akan berhenti berperang meski ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera.
Resolusi tersebut diadopsi Senin kemarin setelah sekutu terdekat Israel, yakni Amerika Serikat, abstain.
DK PBB menuntut gencatan senjata segera selama bulan suci Ramadhan yang sedang berlangsung, yang mengarah pada gencatan senjata permanen.
Sebagaimana diberitakan AFP, resolusi ini juga menuntut agar Hamas dan militan lainnya membebaskan sandera yang mereka sandera pada serangan 7 Oktober 2023.
Meskipun demikian, resolusi itu tidak secara langsung menghubungkan pembebasan tersebut dengan gencatan senjata.
Setelah pemungutan suara, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memimpin seruan agar resolusi tersebut diterapkan.
"Kegagalan tidak bisa dimaafkan," tulisnya di platform media sosial X.
Israel bereaksi keras terhadap sikap abstain AS, karena Israel membiarkan resolusi tersebut disahkan dan 14 anggota Dewan Keamanan lainnya memberikan suara "ya".
Resolusi tersebut adalah yang pertama sejak perang di Gaza meletus untuk menuntut penghentian segera pertempuran atau perang Israel-Hamas tersebut.
Washington bersikeras bahwa sikap abstainnya, yang diikuti dengan banyaknya veto, tidak menandai adanya perubahan dalam kebijakannya, meskipun AS telah mengambil sikap yang semakin keras terhadap Israel dalam beberapa pekan terakhir.
Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, 70 orang tewas pada Selasa pagi, termasuk 13 orang dalam serangan udara Israel di sekitar Kota Rafah di Gaza selatan, yang merupakan titik konflik utama dalam perang tersebut.
Hamas menyambut baik resolusi Dewan Keamanan PBB dan menegaskan kembali kesiapannya untuk merundingkan pembebasan sandera dengan imbalan tahanan Palestina yang ditahan oleh Israel.
Dalam sebuah pernyataan, kelompok Hamas menuduh Israel menggagalkan perundingan putaran terakhir yang diselenggarakan oleh mediator Qatar.
Hamas mengatakan, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan kabinetnya sepenuhnya bertanggung jawab atas kegagalan upaya negosiasi dan mencegah tercapainya kesepakatan hingga saat ini.
Menteri Veteran Mengundurkan Diri
Sementara itu, seorang menteri veteran Israel, Gideon Saar, mengumumkan pengunduran dirinya dari pemerintahan persatuan darurat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Saar menyatakan bahwa keputusannya ini diambil setelah tidak dimasukkannya dalam kabinet perang tingkat tertinggi.
Gideon Saar bergabung dengan pemerintahan persatuan setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, bersama dengan beberapa anggota oposisi lainnya, untuk membantu mengelola perang melawan Hamas di Gaza.
Namun, kepergiannya dari pemerintahan ini, bersama dengan beberapa sekutunya, tidak dianggap akan memengaruhi stabilitas pemerintahan Netanyahu yang masih menguasai mayoritas di parlemen.
Dilansir dari Reuters, sebelumnya, Saar pernah menjadi saingan Netanyahu di partai sayap kanan Likud sebelum akhirnya bergabung dengan blok yang lebih sentris yang dipimpin oleh mantan kepala militer Benny Gantz.
Namun, dalam pemerintahan darurat ini, Gantz menjadi anggota kabinet perang dengan forum kecil yang mengambil keputusan, sementara Saar tidak diikutsertakan.
"Saya tidak dapat memikul tanggung jawab jika saya tidak memiliki, menurut penilaian saya, kemungkinan nyata untuk mempengaruhi arah kebijakan. Saya sama sekali tidak melihat adanya keuntungan dari hal ini," ujar Saar dalam pernyataannya yang disiarkan kepada publik.
Pengunduran diri Saar tidak mengejutkan, karena sebelumnya ia telah memutuskan aliansi dengan Gantz pada awal bulan ini.
Hal ini menunjukkan dinamika politik yang terus berubah di Israel dalam menghadapi tantangan-tantangan regional dan internal yang kompleks.(albertus/tito/kps/tribun jateng cetak)