TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA – Pemerintah mencabut status internasional 17 bandara dari 34 bandara agar sektor penerbangan nasional dapat pulih.
Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja mendukung langkah pemerintah tersebut yang diyakini dapat meningkatkan konektivitas udara.
Menurutnya, bandara internasional yang ada sebelumnya menerapkan pola penerbangan point to point.
Dengan dikuranginya bandara internasional pola penerbangan nasional akan kembali kepada pola hub and spoke.
“Pola hub and spoke ini akan meningkatkan konektivitas transportasi udara serta terjadi pemerataan pembangunan nasional,” kata Denon, di Jakarta, Minggu (28/4).
Denon menjelaskan, dengan menggunakan pola hub and spoke akan terjadi pemerataan pembangunan dari kota kecil hingga kota besar.
Bandara di kota kecil akan hidup dan menjadi penyangga (spoke) bagi bandara di kota yang lebih besar (sub hub).
Denon menuturkan dari bandara sub hub itu akan menjadi penyangga bandara hub yang kemudian menghubungkan penerbangan ke luar negeri sebagai bandara internasional.
“Jadi, semua bandara dapat hidup, konektivitas penerbangan terbangun dan terjadi pemerataan pembangunan,” tuturnya.
Pada pola hub and spoke, kata Denon, selain terjadi konektivitas transportasi udara juga meningkatkan pemerataan pembangunan.
Dia menyebut bisnis penerbangan nasional akan lebih meningkat dan akan menjadi lebih efektif dan efisien sehingga diharapkan dapat meningkatkan pelayanan terhadap penumpang.
Hal tersebut akan berbanding terbalik jika banyak bandara yang bersifat internasional.
Karena akan lebih banyak terjadi penerbangan internasional daripada penerbangan domestik sehingga konektivitas nasional tidak terbangun.
Ia melihat, penerbangan poin to poin internasional selama ini juga lebih menguntungkan maskapai luar negeri.
Mereka sebenarnya juga menggunakan pola hub and spoke di negaranya dan hanya mengambil penumpang di Indonesia sebagai pasar tapi tidak menimbulkan konektivitas nasional.
Selain itu dengan banyaknya bandara internasional juga rawan dari sisi pertahanan dan keamanan karena hal itu berarti membuka banyak pintu masuk ke Indonesia.
Semua pintu tersebut harus dijaga.
Jika penerbangan internasional di bandara tersebut sangat sedikit, juga akan menjadi tidak efektif dan efisien karena harus disediakan sarana dan personil CIQ (Custom, Immigration and Quarantine), komite FAL serta hal-hal lain yang menjadi persyaratan bandara internasional.
Bangkit dari Pandemi
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memangkas status bandara internasional yang tertuang dalam Keputusan Menteri Nomor 31/2024 (KM 31/2004) tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada tanggal 2 April 2024 lalu.
Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan, pemangkasan status bandara internasional secara umum untuk dapat mendorong sektor penerbangan nasional yang sempat terpuruk saat pandemi Covid-19.
“Keputusan ini juga telah dibahas bersama kementerian/lembaga terkait di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi,” kata AditaEmpat Tahun Tidak Layani Rute Luar Negeri
Sementara itu, Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengatakan bandara-bandara yang dicabut status internasionalnya itu karena sudah bertahun-tahun tidak melayani penerbangan rute internasional.
Sedikitnya, sudah empat tahun tidak aktif sejak awal pandemi sehingga dapat dikatakan bandara internasional itu tanpa penumpang asing.
Bahkan setelah pandemi pun ketika jumlah bandara internasional ditambah itu juga tidak melayani.
“Tetapi pemerintah daerah dan warganya juga tidak menyadari bahwa bandara mereka tidak melayani penerbangan internasional,” kata Alvin kepada Tribun Network, Senin (29/4/2024).
Barulah terbit Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KM 31 Tahun 2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional dan Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor KM 33 Tahun 2024 tentang Tatanan Bandar Udara Nasional.
Beleid itu membuat gegap gempita dan gaduh publik, tidak ubahnya di jagat maya.
Kedua, ketika melayani penerbangan internasional pun penumpang untuk rute internasional itu mayoritas adalah warga negara Indonesia, pemegang paspor Indonesia.
“Sampai 90 persen itu pemegang paspor Indonesia yang paling rendah itu 70 persen pemegang paspor Indonesia,” kata Alvin, mantan anggota Ombudsman RI.
Hal itu, sambung dia, mengindikasikan bahwa bandara internasional tidak mendatangkan tamu dari negara lain.
Menurutnya, Bandara internasional yang tadinya berjumlah 34 menjadi 17 selama ini tidak banyak mendatangkan penumpang dari negara lain.
“Yang pemegang paspornya seimbang itu paling tidak hanya dua bandara yakni Bandara Soekarno Hatta dan Bandara I Gusti Ngurah Rai,” imbuhmya.
Ke-17 bandara yang beralih status menjadi bandara domestik tersebut yaitu:
1. Bandara Maimun Saleh, Sabang, Aceh.
2. Bandara Raja Sisingamangaraja XII, Silangit, Sumut.
3. Bandara Raja Haji Fisabilillah, Tanjung Pinang, Kepri.
4. Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang, Sumsel.
5. Bandara H.A.S. Hanandjoeddin, Tanjung Pandan.
6. Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat.
7. Bandara Adisutjipto, Yogyakarta.
8. Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah.
9. Bandara Adi Soemarmo, Solo.
10. Bandara Banyuwangi, Banyuwangi, Jawa Timur.
11. Bandara Supadio, Pontianak, Kalbar.
12. Bandara Juwata, Tarakan.
13. Bandara El Tari, Kupang, NTT.
14. Bandara Pattimura, Ambon, Maluku.
15. Bandara Frans Kaisiepo, Biak.
16. Bandara Mopah, Merauke.
17. Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin.
(Tribun Network/Reynas Abdila)
Baca juga: Hasil Thomas Cup 2024 Chico Menang, Indonesia ke Perempat Final
Baca juga: Timnas Indonesia Kalah dari Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23, Berikut Fakta-faktanya
Baca juga: Kabinet Prabowo Gibran Punya 2 Kriteria Utama Calon Menteri, Apa Itu?
Baca juga: Partai Gelora Tolak PKS Masuk Gerbong Prabowo-Gibran, Dinilai Berbeda secara Ideologis dan Politis