Ia menunggu sampai Pak Tani pergi, namun kelihatannya Pak Tani betah berjaga di sana.
Tapi, mengapa Pak Tani diam dan melotot terus seperti itu, ya? Kancil memberanikan diri untuk memasuki ladang dan Pak Tani tidak mengusirnya.
Akhirnya Kancil mengerti, bahwa itu hanya orang-orangan yang dibuat seperti Pak Tani.
“Ayo, makan bersamaku, Pak Tani!” ajaknya dan mengambil caping orang-orangan itu. Ia makan sampai kenyang sambil nyender ke tubuh orang-orangan itu. Setelah kenyang, Kancil segera pergi.
Sorenya, Pak Tani terkejut karena ketimunnya tetap hilang. “Ulah siapa, sih, ini?” katanya geram.
“Sepertinya pencurinya sudah tahu jika ini orang-orangan dan bukan bapak,” kata Bu Tani. “Bagaimana jika kita melumuri orang-orangan ini dengan getah, sehingga akan membuat lengket pencurinya?”
Lalu mereka melumuri tubuh orang-orangan itu dengan getah buah Nangka.
Esoknya, Kancil datang lagi. “Wah, Pak Tani, kamu masih disitu,” katanya lalu mulai memetik ketimun dan mulai memakannya sambil menyenderkan tubuhnya.
Selesai makan, ia berniat pergi. Tapi, oh-oh, badannya lengket menempel ke orang-orangan itu!
Tiba-tiba datanglah Pak Tani. Kancil tidak berkutik, dia harus siap-siap dihukum.
“Oooh, rupanya kamu yang memakan hasil jerih payahku?” Pak Tani berkacak pinggang.
“Ampun, Pak Tani, maafkan aku. Hutan kecil kami terbakar beberapa hari lalu.” Kancil memohon.
“Ya, tapi, tetap saja mencuri itu tidak baik. Enaknya, saya kasih kamu hukuman apa, ya?” Pak Tani tetap kesal.
“Bagaimana jika kita hukum dia membereskan ladang selama seminggu dan menanami bibit ketimun lagi, Pak?” usul Bu Tani.
Kancil pun menerima hukuman itu. Ia tahu bahwa memang dia bersalah. Dia bekerja dengan rajin dan berharap Pak Tani sungguh-sungguh memaafkannya.