"Yaitu minimal dua alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)," kata Ari.
Poin ketiga, lanjut Ari, proses penyidikan yang dinilai sewenang-wenang dan tidak sesuai prosedur.
Tidak ada juga hasil audit yang menyatakan jumlah pasti kerugian negara akibat dugaan korupsi itu.
Poin keempat, penahanan Tom Lembong dianggap tidak berdasar dan tidak sah, karena tidak memenuhi syarat objektif dan subjektif penahanan.
"Tidak ada alasan yang cukup untuk mengkhawatirkan bahwa klien akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti," jelasnya.
Terakhir, Ari mengungkapkan bahwa tidak ada bukti perbuatan melawan hukum dalam kasus ini, seperti memperkaya diri sendiri atau orang lain.
"Selain tidak adanya hasil audit yang menyatakan kerugian negara, juga tidak ada bukti yang menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, dan/atau korporasi," katanya.
Kata Pengamat
Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menilai Kejagung keliru menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka impor gula.
Ia memandang tuduhan surplus gula pada Mei 2015 terhadap Tom Lembong tak masuk akal.
Sebab sejak lama Indonesia terkenal negara net-impor gula.
Kejanggalan lain, kata dia, Tom Lembong belum menjabat Menteri Perdagangan pada Mei 2015.
Tom baru menjabat Menteri Perdagangan pada 12 Agustus 2015 sampai 27 Juli 2016.
"Indonesia ini net-importir gula sejak lama. Jadi kalau dikatakan surplus itu sudah tidak mungkin apalagi yang katanya Mei ada itu rapat koordinasi mengatakan surplus. Itu sudah tidak mungkin karena itu sudah harus ada impor terus," kata Anthony di YouTube sebagaimana dikutip Minggu (3/11/2024).
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa negara impor 3,3 juta ton pada Mei 2015.