Si Kabayan hanya tersenyum-senyum sendiri seolah tidak bersalah.
“Ternyata sawah ini dangkal ya, Bah?” katanya dengan senyum menyebalkannya.
Ia pun lantas mengambil siput-siput sawah yang banyak terdapat di sawah itu.
Pada hari yang lain mertua Si Kabayan menyuruh Si Kabayan untuk memetik buah nangka yang telah matang.
Pohon nangka itu tumbuh di pinggir sungai dan batangnya menjorok di atas sungai.
Si Kabayan sesungguhnya malas untuk melakukannya.
Hanya setelah mertuanya terlihat marah, Si Kabayan akhirnya menurut.
Ia memanjat batang pohon. Dipetiknya satu buah nangka yang telah masak.
Sayang, buah nangka itu terjatuh ke sungai.
Si Kabayan tidak buru-buru turun ke sungai untuk mengambil buah nangka yang terjatuh.
Dibiarkannya buah nangka itu hanyut.
Mertua Si Kabayan terheran-heran melihat Si Kabayan pulang tanpa membawa buah nangka.
“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan raut wajah jengkel.
“Mana buah nangka yang kuperintahkan untuk dipetik?”
Dengan wajah polos seolah tanpa berdosa, Si Kabayan menukas, “Lho? Bukankah buah nangka itu tadi telah kuminta untuk berjalan duluan? Apakah buah nangka itu belum juga tiba?”