Musuh kita adalah nafsu diri sendiri yang seringkali membuat kita egois dan tidak mau menerima pendapat orang lain.
Lebih dari itu, masih banyak masalah besar yang harus kita hadapi bersama, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, kriminalitas, dan ketidakadilan sosial.
Bukankah lebih baik energi kita dialihkan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas keagamaan di Indonesia seharusnya lebih proaktif dalam mengurangi ketegangan di antara umat Muslim.
Mereka bisa menjadi mediator yang membangun dialog antar kelompok yang berbeda pendapat.
Umat Muslim, sebagai mayoritas di negeri ini, seharusnya bisa menjadi teladan dalam menjaga harmoni di tengah perbedaan.
Perbedaan seharusnya menjadi anugerah, bukan musibah.
Jika kita bisa menerima perbedaan dalam hal ibadah sunah, maka kita juga bisa lebih mudah menerima perbedaan dalam hal-hal lain yang lebih kompleks.
Umat Muslim Indonesia juga perlu lebih dewasa dalam bersikap.
Bulan Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), bukan malah menjadi ajang saling menyalahkan.
Andai saja Allah tidak menganugerahkan bulan Ramadan, mungkin banyak masjid dan musala yang akan kosong dari jemaah.
Ironisnya, di bulan Ramadan pun, jemaah shalat tarawih dan witir seringkali lebih banyak daripada jemaah shalat wajib seperti shubuh.
Ini menunjukkan bahwa kita masih lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat sunah daripada yang wajib.
Kita patut bersyukur kepada masjid-masjid yang telah berhasil mengoptimalkan manajemennya, tidak hanya dalam hal ibadah ritual, tetapi juga dalam pemberdayaan ekonomi dan sosial umat.
Contohnya, Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, Masjid Al-Falah di Sragen, dan Masjid Sejuta Pemuda di Sukabumi.