UIN SAIZU Purwokerto

Menyudahi Polemik Tarawih/Witir 23/11 Rakaat Menuju Toleransi, Moderasi, dan Ukhuwah Islamiyah

Editor: muh radlis
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E Dosen FEBI UIN Saizu Purwokerto

Oleh Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E
Dosen FEBI UIN Saizu Purwokerto

Polemik seputar jumlah rakaat shalat tarawih dan witir—apakah 23 atau 11 rakaat—sepertinya masih menjadi perdebatan yang tak kunjung usai di kalangan umat Muslim Indonesia.

Padahal, di belahan dunia lain, mungkin saja perdebatan semacam ini sudah tidak lagi menjadi isu yang menguras energi. 

Di Indonesia, polemik ini justru terus berulang, seolah tidak ada habisnya.

Padahal, shalat tarawih dan witir adalah ibadah sunah, yang artinya tidak wajib dilaksanakan. 

Namun, mengapa perbedaan pendapat tentang hal ini justru memicu ketegangan dan perpecahan?

Ini menjadi pertanyaan besar yang perlu kita renungkan bersama.

Polemik ini sebenarnya mencerminkan betapa umat Muslim di Indonesia masih sulit menerima perbedaan, bahkan dalam hal-hal yang sifatnya tidak fundamental dalam ajaran Islam.

Padahal, Islam sendiri mengajarkan toleransi dan menghargai keragaman.

Perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah (cabang) seperti ini seharusnya tidak menjadi alasan untuk saling menyalahkan atau merendahkan.

Justru, perbedaan seharusnya menjadi kekuatan untuk saling melengkapi dan belajar.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya: perbedaan dijadikan alasan untuk memecah belah.

Sudah saatnya umat Muslim Indonesia berpikir lebih maju dan mengalihkan energi untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Bagaimana mungkin kita bisa membangun peradaban yang gemilang jika masih sibuk berdebat tentang jumlah rakaat shalat sunah?

Musuh kita bukanlah perbedaan ormas keagamaan atau perbedaan jumlah rakaat.

Musuh kita adalah nafsu diri sendiri yang seringkali membuat kita egois dan tidak mau menerima pendapat orang lain.

Lebih dari itu, masih banyak masalah besar yang harus kita hadapi bersama, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, kriminalitas, dan ketidakadilan sosial.

Bukankah lebih baik energi kita dialihkan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas keagamaan di Indonesia seharusnya lebih proaktif dalam mengurangi ketegangan di antara umat Muslim.

Mereka bisa menjadi mediator yang membangun dialog antar kelompok yang berbeda pendapat.

Umat Muslim, sebagai mayoritas di negeri ini, seharusnya bisa menjadi teladan dalam menjaga harmoni di tengah perbedaan.

Perbedaan seharusnya menjadi anugerah, bukan musibah.

Jika kita bisa menerima perbedaan dalam hal ibadah sunah, maka kita juga bisa lebih mudah menerima perbedaan dalam hal-hal lain yang lebih kompleks.

Umat Muslim Indonesia juga perlu lebih dewasa dalam bersikap.

Bulan Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), bukan malah menjadi ajang saling menyalahkan.

Andai saja Allah tidak menganugerahkan bulan Ramadan, mungkin banyak masjid dan musala yang akan kosong dari jemaah.

Ironisnya, di bulan Ramadan pun, jemaah shalat tarawih dan witir seringkali lebih banyak daripada jemaah shalat wajib seperti shubuh.

Ini menunjukkan bahwa kita masih lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat sunah daripada yang wajib.

Kita patut bersyukur kepada masjid-masjid yang telah berhasil mengoptimalkan manajemennya, tidak hanya dalam hal ibadah ritual, tetapi juga dalam pemberdayaan ekonomi dan sosial umat.

Contohnya, Masjid Jogokariyan di Yogyakarta, Masjid Al-Falah di Sragen, dan Masjid Sejuta Pemuda di Sukabumi.

Mereka tidak hanya fokus pada kegiatan ibadah, tetapi juga pada penguatan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan umat.

Ini adalah teladan yang patut kita tiru. Masjid seharusnya menjadi pusat peradaban, bukan sekadar tempat ibadah ritual.

Sayangnya, masih banyak masjid dan musala di Indonesia yang hanya fokus pada kemegahan bangunan, tanpa memikirkan bagaimana memberdayakan umat.

Banyak masjid yang megah, tetapi tidak terawat dan kotor.

Di bulan Ramadan, masjid-masjid ini hanya ramai di minggu pertama, lalu sepi kembali di minggu-minggu berikutnya.

Ini menunjukkan bahwa kita masih terjebak dalam rutinitas dan formalitas, tanpa memahami esensi dari keberadaan masjid sebagai pusat peradaban.

Polemik tentang jumlah rakaat tarawih dan witir seharusnya tidak lagi menjadi perdebatan yang menguras energi.

Perdebatan ini hanya akan menjadi bahan tertawaan orang lain, karena menunjukkan ketidakdewasaan kita dalam beragama.

Ajaran Islam tentang akhlak karimah (akhlak mulia) seolah tidak ada artinya jika kita masih sibuk berdebat tentang hal-hal yang sepele.

Sudah saatnya kita mengubah pola pikir dan sikap kita ke arah yang lebih positif dan memberdayakan.

Masjid dan musala seharusnya menjadi pusat kegiatan umat Muslim yang komprehensif, tidak hanya terbatas pada ibadah ritual.

Umat Muslim harus membuktikan bahwa masjid bisa menjadi tempat untuk penguatan pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan bidang-bidang lainnya.

Dengan demikian, masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat peradaban yang memajukan umat.

Dalam konteks akademik, kita juga perlu mengedepankan pendekatan yang moderat dan toleran.

Perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah seperti jumlah rakaat tarawih dan witir seharusnya tidak menjadi penghalang untuk bekerja sama dalam hal-hal yang lebih penting, seperti penguatan pendidikan dan pemberdayaan umat.

Moderasi beragama adalah kunci untuk menciptakan harmoni di tengah perbedaan.

Ukhuwah Islamiyah juga harus terus diperkuat.

Persaudaraan sesama Muslim tidak boleh terganggu hanya karena perbedaan pendapat dalam hal-hal yang tidak prinsipil. 

Kita harus belajar dari sejarah, di mana para ulama dahulu bisa berbeda pendapat tanpa harus saling memusuhi.

Mereka justru saling menghormati dan menghargai perbedaan tersebut.

Mari kita sudahi polemik tentang jumlah rakaat tarawih dan witir.

Polemik ini tidak ada gunanya dan hanya akan memecah belah umat.

Sudah saatnya kita fokus pada hal-hal yang lebih penting, seperti mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial. 

Dengan demikian, kita bisa membangun peradaban yang lebih baik dan lebih bermartabat.

Umat Muslim Indonesia harus menjadi teladan dalam menjaga toleransi, moderasi beragama, dan ukhuwah Islamiyah.

Perbedaan seharusnya menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Dengan semangat ini, kita bisa mengakhiri polemik yang tidak produktif dan bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik untuk umat Muslim dan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Semoga Ramadan tahun ini menjadi momentum untuk memperkuat toleransi, moderasi beragama, dan ukhuwah Islamiyah.

Mari kita jadikan masjid sebagai pusat peradaban yang memajukan umat, bukan sekadar tempat ibadah ritual.

Dengan demikian, kita bisa membawa Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam.

Berita Terkini