Demak

"Orang Bisa Dipindah Tapi Tidak dengan Kenangannya" Cerita Warga Pesisir Demak Korban Relokasi

Penulis: iwan Arifianto
Editor: rival al manaf
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KAMPUNG TENGGELAM - Nurohman (56) menunjukkan letak lokasi rumahnya yang kini sudah berubah menjadi lautan di Dukuh Rejosari atau lebih dikenal sebagai Dukuh Senik,  Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Selasa (18/2/2025).

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Nurohman (56) dari atas perahu itu menunjukkan letak lokasi rumahnya, makam orangtuanya hingga bekas sawahnya dengan sangat fasih meskipun tempat yang ditunjuknya sudah berubah menjadi lautan di Dukuh Rejosari atau lebih dikenal sebagai Dukuh Senik,  Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.

Nurohman telah meninggalkan tanah kelahirannya itu sejak tahun 2006 silam. Namun, luasnya lautan di daerah tersebut tak menyurutkan kenangan akan desanya. 

“Ya kampung saya telah tenggelam,  dahulu tempat ini adalah daratan sehingga terdapat kebun kelapa dan sawah. Kini semua berubah menjadi lautan,” kata Nurohman kepada Tribun, Selasa 18 Februari 2025.

Mantan kepada dusun (kadus) di Rejosari ini  mengisahkan, dulu kampungnya berjarak 2 kilometer dari garis pantai pada tahun 1980an.  Urutan wilayahnya terdiri dari area permukiman,  sawah, area tambak baru garis pantai.

Baca juga: Cerita Perempuan di Kampung Tenggelam Pesisir Demak: Jaga Mangrove dan Identitas Perempuan Pesisir

Baca juga: Kronologi Balita di Demak Tewas Setelah Tercebur ke Parit, Ditemukan Sejauh 1,5 Kilometer

Kondisi berangsur berubah manakala bencana rob mulai mengintai kampungnya pada rentang tahun 1994-1995.  Selang empat tahun kemudian beberapa tetangga dusun seperti Tambaksari mulai melakukan relokasi.

Namun, warga di dusunnya memilih bertahan dengan cara bergotong royong membuat tanggul. Sayangnya, tanggul sederhana buatan warga kalah tangguh dengan gelombang rob yang terus menghantam hingga awal tahun 2000an.

“Kami usul ke Pak Camat kala itu Edi Jatmiko agar meninggikan jalan desa yang menghubungkan antara Morosari dan Rejosari tetapi kami disuruh sabar hingga bertahun-tahun,” ujarnya.

Kesabaran warga, kata Nurohman, mencapai puncaknya pada tahun 2006. Warga akhirnya meminta direlokasi karena kampung mereka sudah tidak layak untuk dihuni akibat saban hari direndam rob. Dia sendiri enggan hidup di desanya lantaran memiliki dua anak kecil yang harus mendapatkan kehidupan yang lebih normal yakni menyentuh daratan.

“Kami terpaksa pindah meski hati nurani bilang ingin bertahan,” ujarnya.

Pada tahun 2006, sebanyak 206 kepala keluarga (KK) dengan 816 jiwa memilih meninggalkan kampungnya dari Dukuh Rejosari pindah ke dua titik meliputi Desa Sidogemah dan Desa Gemulak.Warga dalam proses relokasi itu mendapatkan tanah seluas 5 meter x 10 meter dan uang tunai Rp1 juta serta sejumlah bahan material membangun pondasi rumah. “Sisanya kami urus sendiri,” terangnya.

Mirisnya, relokasi itu tak cukup bagi warga terhindar dari rob. Selang 7 tahun kemudian atau pada tahun 2013, permukiman relokasi itu kembali direndam rob. Warga yang memiliki sumber daya untuk pindah akhirnya memilih untuk relokasi secara mandiri. Hal itu yang dilakukan Nurohman. Sementara  warga yang tak mampu pindah berlomba-lomba meninggikan rumahnya.

“Ya saya selama tujuh tahun pindah tempat tinggal sebanyak dua kali, pertama dari Rejosari ke Sidogemah karena tenggelam lagi,  saya akhirnya  pindah dari Sidogemah ke Desa Kalisari dengan dana pribadi,” terangnya.

Kendati telah pindah tempat tinggal, Nurohman mengaku tidak bisa lepas dari tanah kelahirannya. Bagi dia, tubuh orang bisa dipindah tetapi tidak dengan hatinya.

“Saya sedih. Ini tanah kelahiran saya sudah jadi lautan,” ungkapnya sembari menyeka air mata.

Kondisi hampir serupa dialami oleh perempuan Timbulsloko, Sayung, Kabupaten Demak  Mukaromah. Dia sud ah pindah dari kampungnya di Timbulsloko yang sudah tenggelam ke tempat yang kering di Desa Temuroso, Guntur, Demak. Akan tetapi di tempat baru itu Mukaromah malah kebingungan karena kehilangan mata pencaharian.

Oleh karena itu, Mukaromah akhirnya memilih kembali pulang ke kampungnya  Timbulsloko. Dia akan tinggal di tempat itu selama dua hingga tiga bulan. Dia lantas kembali ke tempat relokasi lalu tinggal selama dua minggu. “Kalau uang habis baru kembali lagi ke Timbulsloko,” ujar Mukaromah kepada Tribun, Selasa (18/1/2025).

Di Timbulsloko, dia bekerja sebagai perempuan nelayan tangkap dengan penghasilan bersih Rp 20 ribu-Rp30 ribu perhari.

Selain itu, dia mendapatkan penghasilan tambahan dengan membuka warung kelontong dan usaha jualan es batu.  Mukaromah membanting tulang sendiri lantaran suaminya Yuhri (73) tidak bisa bekerja akibat  sakit pengapuran tulang lutut.  Adapun Anak tunggalnya sudah memiliki rumah tangga sendiri yang tinggal di Genuk, Kota Semarang.

“Di tempat relokasi tidak bisa bekerja. Di sini saya bisa mencari ikan,” ucapnya.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, warga pesisir yang bertahan di kampung mereka yang tenggelam karena tidak ada pilihan lain.

Pilihan relokasi bagi mereka hanya menggiring pada jebakan utang baru karena pemerintah tidak memenuhi sepenuhnya kebutuhan warga ketika mereka melakukan relokasi.  Mereka akhirnya hanya bisa bertahan hidup sesuai dengan kemampuan mereka dengan cara beralih pekerjaan. Mereka juga berusaha meminta kebaikan dari negara untuk lebih peduli. “Meskipun dalam poin ini masih ada PR (pekerjaan rumah) besar,” terangnya.

Kerusakan Buatan Manusia dan Solusi Semu Pemerintah

ALASAN BERTAHAN - Perempuan Timbulsloko, Sayung, Kabupaten Demak Mukaromah (62) hendak berangkat melaut untuk memasang perangkap ikan. Dia mengungkap enggan berlama-lama tinggal di rumah relokasi karena di tempat tersebut kehilangan mata pencaharian, Kabupaten Demak, Selasa (18/2/2025). (Tribun Jateng/ Iwan Arifianto)

Merujuk data KIARA, ada sebanyak  1.148 desa pesisir di Indonesia tenggelam pada tahun 2020. Adapun Jawa Tengah menjadi wilayah yang paling terdampak. Kondisi itu dapat dilihat di beberapa desa di Kabupaten Demak meliputi Bedono, Timbulsloko, Surodadi, Morodemak, dan Tambakbulusan. Dari kondisi tersebut, lebih dari 800 hektar daratan berdampak dan lebih dari 6.000 Kepala Keluarga (KK) dengan rumah-rumah mereka terendam air secara permanen. Khusus untuk kawasan Desa Timbulsloko kini telah kehilangan lebih dari 101 hektar daratan dengan setidaknya 500 Kepala Keluarga kehilangan tempat tinggal.

Deputi Pengelolaan Program dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Erwin Suryana mengatakan, kondisi desa pesisir di Demak tenggelam dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor pembangunan yang masif di dilakukan di wilayah pesisir maupun wilayah hulu.

Untuk pembangunan wilayah pesisir, kata Erwin, yang paling berdampak adalah  pembangunan pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Pembangunan proyek ini mengubah pola arus sehingga mempercepat abrasi di wilayah Kecamatan Sayung.

Pola pembangunan berikutnya yang ikut merusak pesisir yakni pembangunan salah satu bendungan terbesar di Indonesia yakni Bendungan Kedung Ombo yang membentang di wilayah Kabupaten Grobogan, Sragen, dan Boyolali.

Erwin menilai, bendungan ini merusak daerah aliran sungai (DAS) di kali tuntang sektor tengah. Alhasil, volume debit air yang masuk ke wilayah pesisir Demak kian besar.

Satu faktor lainnya yang turut memperparah kondisi pesisir Demak adalah pembangunan kawasan industri yang dibarengi dengan pengambilan air tanah terlalu berlebihan sehingga mempercepat terjadinya proses land subsidence atau penurunan muka tanah.

“Tiga faktor itu yang sebetulnya secara bersamaan bekerja kemudian menggerus wilayah pesisir utara  Demak,” paparnya.

Erwin menyebut, penyebab kerusakan di pesisir pantura memang bukan faktor tunggal. Kerusakan di kawasan ini juga bukan semata-mata karena krisis iklim. Namun, faktor-faktor eksternal lebih dominan dalam menyumbang kerusakan.

“Faktor-faktor eksternal yang bentuknya adalah man made fitur atau buatan manusia yang sebetulnya lebih merusak,” bebernya.

Dari kondisi tersebut, Erwin menilai warga pesisir yang memilih untuk tetap menggantungkan hidupnya di desa mereka yang tenggelam malah semakin tersingkir. Sebab, pemerintah yang seharusnya membela kepentingan warga malah bersikap sebaliknya. Pemerintah memilih untuk membuka ruang kawasan itu selebar-lebarnya untuk pengembangan kawasan-kawasan industri.  Hal itu dapat dilihat dari penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten Demak.

“Pemerintah tidak melihat kepentingan warga yang selama ini mencoba bertahan dengan kebaikan alam di pesisir yang ada justru adalah upaya-upaya untuk penyingkiran warga dari ruang yang selama ini mereka kelola,” katanya.

Menurut Erwin, Pemerintah daerah seharusnya dapat memastikan para warga pesisir yang bertahan di tengah kampung mereka yang tenggelam dengan memberikan hak dasar mereka terpenuhi misalnya hak akan air bersih, hak tinggal, hak kesehatan, akses mata pencaharian dan  pendidikan.

Bersamaan dengan itu, perlu ada langkah pemulihan lingkungan semisal dengan menggencarkan rehabilitasi mangrove dengan catatan menggunakan bibit yang tepat di kawasan tersebut.  Ketika langkah itu dapat dilakukan secara berbarengan akan sangat menguntungkan bagi proses adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.

“Jadi bukan mustahil melakukan harmonisasi antara pembangunan, kepentingan lingkungan dengan perubahan masyarakat. Pemerintah hanya perlu melihat lebih dalam lagi apa yang diinginkan masyarakat lalu mendorongnya perubahan itu dari dalam,” ungkapnya.

Sementara,   Tribun telah berupaya mengkonfirmasi ke Bupati Demak Eisti’anah soal persoalan tersebut. Namun, hingga berita ini ditulis belum ada respon.  (Iwn)

 

Berita Terkini