UIN SAIZU Purwokerto

Manusia di Dunia: Tugas Dinas dengan Misi Bersama

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E, Dosen FEBI UIN Saizu Purwokerto

Oleh Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E
Dosen FEBI UIN Saizu Purwokerto

Kehidupan manusia di dunia ini seringkali diibaratkan sebagai sebuah tugas dinas.

Setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing, sesuai dengan keahlian dan bakat yang dimilikinya.

Namun, meskipun peran kita berbeda-beda, misi kita sebenarnya sama: melaksanakan perintah dari "Bos Besar" (Tuhan) dan menghindari segala larangan-Nya. 

Dalam perjalanan ini, kita diberikan uang saku untuk operasional sehari-hari, namun perlu diingat bahwa uang saku ini bukanlah gaji utama kita.

Gaji sebenarnya akan diberikan di Akhirat kelak.

Oleh karena itu, kita harus bijak dalam menggunakan uang saku ini, karena suatu hari nanti kita akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap pengeluaran yang kita lakukan.

Setiap hari, kita juga diharuskan untuk melapor minimal lima kali sehari.

Ini bisa diibaratkan sebagai shalat lima waktu dalam Islam, di mana kita mengingat kembali tujuan hidup kita dan memastikan bahwa kita tetap berada di jalur yang benar.

Dalam menjalankan tugas dinas ini, kita harus fokus pada misi utama dan tidak terlalu menghabiskan energi untuk mempertengkarkan hal-hal yang remeh dengan sesama karyawan (manusia lainnya).

Perselisihan kecil hanya akan mengalihkan perhatian kita dari tujuan yang lebih besar.

Sains dan Teknologi: Alat, Bukan Tujuan

Salah satu aspek penting dalam tugas dinas kita adalah penggunaan sains dan teknologi.

Keduanya memiliki manfaat yang sangat besar bagi peradaban manusia.

Namun, sebagai umat yang beragama, kita perlu menyadari bahwa sains dan teknologi hanyalah alat, bukan tujuan akhir.

Ada titik di mana sains dan teknologi bisa menjadi "lebay" atau berlebihan, terutama ketika mereka mencoba melawan kodrat yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Contohnya, Tuhan telah menyatakan bahwa setiap yang hidup pasti akan mati.

Namun, sains sedang berusaha merancang cara agar manusia bisa hidup abadi.

Selain itu, manusia juga sedang mencari tempat tinggal selain Bumi, meskipun jarak tempuhnya sangat jauh dan seolah-olah tidak realistis untuk dicapai dalam waktu dekat.

Ini menimbulkan pertanyaan: apakah upaya-upaya ini benar-benar bermanfaat, atau justru menyia-nyiakan waktu dan sumber daya yang seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih penting?

Istidraj, atau kemajuan yang diberikan Tuhan sebagai ujian, bisa datang dalam berbagai bentuk, termasuk melalui kecerdasan manusia.

Sains dan teknologi, meskipun bermanfaat, tidak boleh menjadi tujuan utama.

Mereka hanyalah alat yang seharusnya digunakan sejauh mereka memberikan manfaat untuk kehidupan akhirat.

Jika sains dan teknologi hanya digunakan untuk meningkatkan peradaban tanpa mengindahkan nilai-nilai ketuhanan, maka apa gunanya?

Manusia yang Tertidur di Dunia

Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah menggambarkan manusia sebagai orang yang sedang tidur di dunia ini.

Ketika seseorang meninggal dunia, barulah ia terbangun dan menyadari bahwa segala yang diceritakan dalam Al-Qur'an adalah nyata.

Sayangnya, ketika kesadaran itu datang, sudah terlambat untuk kembali.

Kita tidak bisa mengulang waktu atau memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu sadar dan waspada selama masih hidup di dunia ini.

Jika kita mengibaratkan kehidupan beragama sebagai perjalanan mendaki gunung, maka para ulama dan guru agama adalah pemandu yang membantu kita mencapai puncak.

Mereka adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang jalan yang harus ditempuh.

Para imam madzhab, misalnya, telah membuat jalur-jalur pendakian yang aman dan teruji.

Meskipun ada orang yang lebih memilih untuk membuat jalannya sendiri, mereka seringkali tidak menyadari bahwa jalur yang sudah ada telah berhasil mengantarkan jutaan orang ke puncak.

Jalur yang Sudah Teruji

Memang, ada pendaki yang merasa lebih nyaman membuat jalannya sendiri.

Mereka mungkin merasa bahwa jalur yang mereka buat lebih sesuai dengan peta atau arah yang mereka yakini benar.

Namun, mereka lupa bahwa jalur-jalur yang sudah ada telah melalui proses uji coba dan telah terbukti berhasil mengantarkan banyak orang ke tujuan.

Membuat jalur baru bukanlah hal yang salah, tetapi kita harus mempertimbangkan risiko dan kemungkinan tersesat.

Dalam konteks kehidupan beragama, mengikuti ajaran yang sudah ada dan teruji adalah langkah yang bijak.

Para ulama dan imam madzhab telah menghabiskan waktu dan energi mereka untuk mempelajari dan memahami ajaran agama secara mendalam.

Mereka adalah pemandu yang bisa kita percayai untuk membawa kita ke tujuan akhir, yaitu kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat.

Kesimpulan

Hidup di dunia ini adalah sebuah tugas dinas yang diberikan oleh Tuhan.

Setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing, namun misi kita semua sama: melaksanakan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya.

Sains dan teknologi adalah alat yang bisa membantu kita dalam menjalankan tugas ini, tetapi mereka bukanlah tujuan akhir.

Kita harus selalu ingat bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, dan kehidupan yang sebenarnya akan kita jalani di Akhirat.

Oleh karena itu, mari kita fokus pada misi utama kita dan tidak terlalu terlena dengan hal-hal yang remeh. Mari kita gunakan sains dan teknologi dengan bijak, dan selalu mengingat bahwa segala sesuatu yang kita lakukan akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan mengikuti jalur yang sudah teruji dan dibimbing oleh para ulama, kita bisa mencapai puncak gunung kehidupan dengan selamat dan bahagia.

Berita Terkini