Ia bertengger sambil menenangkan diri.
Aduh, Han, aku hampir saja celaka. Untung kamu memanggilku. Terima kasih, ya!” kata Owi.
“Kamu tidak ikut ibumu berburu?”
“Tadi perutku agak sakit, tapi sekarang sudah sembuh. Kamu juga tidak berburu?” Tanya Han.
“Tidak, aku mau tidur supaya besok pagi bisa main dengan Nuri dan Kutut!” jawab Owi.
“Tetapi dari tadi aku tidak bisa tidur.”
“Kita tidak mungkin bisa tidur malam, Wi! Kita, kan, burung malam.
Siang hari tidur dan malam berburu. Kalau Nuri dan Kutut, siang mencari makan dan malam hari mereka tidur,” ujar Han,
“Sudah ikut aku saja, yuk. Kita berlomba menangkap tikus atau katak. Setelah dapat, akan kubawa kau ke suatu tempat!”
Mereka lalu terbang dan masing-masing erhasil menangkap seekor katak.
Han lalu mengajak Owi ke dalam hutan, menemui seekor burung hantu tua di hua lubang pohon.
“Nenek, aku dan temanku Owi membawakan katak untukmu!” kata Han.
“Kalian anak-anak yang baik. Terima kasih, ya, Owi, kamu tampan sekali!” kata burung hantu tua itu.
“Aku selalu merasa diriku jelek. Burung hantu lain juga jelek!” kata Owi.
“Itu pikiran yang salah. Bagus dan jelek itu bukan tergantung pada ulu yang indah, atau suara yang bagus.
Tetapi, apakah kamu punya hati baik atau tidak.
Kamu membawakan makanan untuk burung tua yang lamban. Itu artinya kamu bagus, tidak jelek!” kata burung tua itu.
Owi merasa kata-kata burung tua itu benar.
Ia dan Han lalu pergi berburu lagi. Mejelang subuh, mereka pulang dan tidur.
Ketika Owi terbangun, hari sudah petang lagi. Ia tidak bisa bermain dengan Kutut dan Nuri.
Namun, Owi tidak sedih karena ia sudah tau bahwa ia bukan burung hantu yang jelek. Ia berjanji akan lebih rajin latihan berburu.
(*)