TRIBUNJATENG.COM, SALATIGA - Dalam semangat memperkuat jalinan persaudaraan lintas iman, Campus Ministry Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menyelenggarakan kegiatan Halalbihalal 2025, Jumat (09/05/2025) malam di Balairung Universitas.
Kegiatan ini tidak sekadar menjadi ajang silaturahmi pasca Idulfitri bagi segenap civitas academica, tetapi juga menjadi ruang refleksi.
Mengusung tema “Merajut Relasi Harmoni Kristen-Muslim,” acara ini juga menghadirkan Public Lecture yang disampaikan oleh Dr. Sumanto Al Qurtuby, dosen Fakultas Teologi UKSW sekaligus antropolog budaya yang dikenal luas lewat riset-risetnya mengenai hubungan antaragama.
Acara yang dihadiri oleh sedikitnya 130 peserta dari unsur dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan dan pimpinan universitas ini berlangsung hangat dalam nuansa kebersamaan dan keterbukaan.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Keuangan, Infrastruktur, dan Perencanaan (WR KIP), Priyo Hari Adi, Ph.D., menegaskan bahwa nilai-nilai inklusivitas dan penghormatan lintas iman bukan sekadar wacana akademik, melainkan etos hidup yang harus dihidupi oleh seluruh civitas academica.
“Pengalaman hidup di Salatiga harus menjadi ruang belajar nyata tentang toleransi dan empati. Ini bukan hanya soal teori, tapi bagaimana kita benar-benar hidup dalam keberagaman dengan saling menghargai."
"Dalam ibadah kita boleh eksklusif, tetapi dalam kehidupan sosial kita harus inklusif."
"Itulah nilai yang akan dibawa oleh teman-teman semua dalam perjalanan hidup ke depan,” pungkas Priyo Hari Adi.
Senada dengan hal tersebut, Kepala Campus Ministry UKSW Pdt. Dr. Ferry Nahusona, M.Si., turut menyampaikan apresiasi yang mendalam atas keterlibatan seluruh pihak dalam menyukseskan kegiatan ini.
“Halalbihalal ini bukan sekadar tradisi, tetapi menjadi ruang bermakna untuk merawat keberagaman dan semangat inklusivitas."
"Tema yang disampaikan oleh Mas Manto sangat relevan dengan dinamika kehidupan kita saat ini,” ujarnya.
Perspektif Budaya dan Teologis
Dalam paparannya, Dr. Sumanto Al Qurtuby membuka ruang pemahaman mendalam mengenai filosofi kata dan praktik yang mengiringi perayaan Idulfitri di Indonesia.
Ia menjelaskan makna simbolik dari istilah seperti lebaran, halalbihalal, sungkeman, kupatan, yang semuanya merujuk pada proses spiritual dan sosial menuju kesucian.
Dr. Sumanto menafsirkan Idulfitri sebagai fase liminal dalam kerangka rites de passage, merujuk pada konsep antropolog Arnold Van Gennep dan Victor Turner.
Menurutnya, puasa Ramadhan adalah proses tirakat yang memurnikan jiwa, dan Idulfitri menjadi momentum "kembali ke fitrah", yaitu kondisi suci tanpa dosa seperti bayi yang baru lahir.
“Idulfitri mengandung makna simbolik transformasi manusia, dari yang bergelimang dosa menjadi pribadi yang diperbaharui secara spiritual."
"Dalam budaya kita, ini diwujudkan lewat praktik bermaafan, baik dengan Tuhan melalui puasa maupun dengan sesama manusia lewat silaturahmi,” ujarnya.
Menyulam Relasi Kristen
Topik kuliah umum juga menyoroti pentingnya kajian relasi Kristen-Muslim dalam konteks global maupun nasional.
Dr. Sumanto menekankan bahwa relasi kedua komunitas ini adalah relasi yang paling banyak mewarnai sejarah peradaban dunia dan Indonesia, meskipun dinamikanya kerap mengalami pasang surut.
“Sayangnya, studi tentang relasi Kristen-Muslim masih minim dilakukan secara mendalam, padahal Indonesia sebagai negara dengan dua populasi besar agama ini memiliki pengalaman unik yang layak dijadikan rujukan internasional."
"UKSW sebagai kampus pluralis tentu memiliki tanggung jawab etis dan akademis dalam mengembangkan wacana ini,” tambahnya.
UKSW sendiri memiliki warisan panjang sebagai ruang akademik yang menjunjung tinggi inklusivitas.
Meskipun berakar dalam tradisi kekristenan, kampus ini terbuka bagi seluruh kelompok agama dan budaya, termasuk bagi kaum beragama lain, termasuk Muslim.
Pengalaman Spiritual dan Intelektual
Acara Halalbihalal dan kuliah umum ini juga meninggalkan kesan mendalam bagi para peserta.
Justin Saudale, mahasiswa Magister Sosiologi Agama Fakultas Teologi UKSW, mengungkapkan bahwa acara ini memperkaya pemahamannya terhadap tradisi yang selama ini ia ketahui turun temurun.
“Biasanya saya hanya mengetahui tentang tradisi seperti ketupat dan sungkeman tanpa tahu maknanya."
"Tapi dalam acara ini saya bisa memahami secara lebih mendalam makna budaya dan teologis dari perayaan Lebaran,” ujar mahasiswa asal Kupang ini.
Sementara itu, Tabrani Tajuddin, mahasiswa dari Makassar dan alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menyoroti pentingnya dimensi global dari relasi Islam-Kristen.
“Saya mendapatkan wawasan baru tentang dinamika relasi Kristen-Muslim di berbagai belahan dunia, tidak hanya di Indonesia."
"Ini mengingatkan kita bahwa dialog antaragama harus terus diperkuat untuk membangun harmoni yang lebih luas,” katanya.
Kegiatan yang menjadi refleksi ini menunjukkan bukti nyata UKSW dalam mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) ke-16 perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh, dan SDGs ke-4 pendidikan berkualitas.
Sebagai Perguruan Tinggi Swasta (PTS) terakreditasi Unggul, UKSW telah berdiri sejak 1956 dengan 15 fakultas dan 64 program studi di jenjang D3 hingga S3, dengan 28 Prodi Unggul dan A.
Terletak di Salatiga, UKSW dikenal dengan julukan Kampus Indonesia Mini, mencerminkan keragaman mahasiswanya yang berasal dari berbagai daerah.
Selain itu, UKSW juga dikenal sebagai "Creative Minority" yang berperan sebagai agen perubahan dan inspirasi bagi masyarakat. Salam Satu Hati UKSW! (*)