Ternyata Usaha Tangkap Ikan juga Kena PBB
Oleh R Ganung Harnawa
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Ikan merupakan salah satu sumber makanan yang sangat digemari di seluruh dunia. Selain sarat dengan nutrisi, ikan juga memiliki berbagai rasa yang enak dengan aneka macam olahan, dari digoreng, direbus, dipepes, dibakar, diasap, diasinkan bahkan ada yang dikonsumsi dalam keadaan mentah. Setiap Negara ataupun daerah memiliki cara tersendiri dalam mengolah ikan. Spesies ikan sangatlah banyak, dan jenis-jenis ikan yang dapat dikonsumsi, banyak tersedia di laut.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, total panjang garis pantai Provinsi Jawa Tengah adalah 828,82 km yang terdiri dari panjang garis pantai utara adalah 540,27 km dan 288,55 km merupakan panjang garis pantai selatan. Dengan luas kawasan pesisir sebesar 122.739,79 ha. Ini berarti provinsi Jawa Tengah memiliki potensi sumber daya alam berupa lautan yang cukup luas, dan menjadikannya sebagai salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat Jawa Tengah.
Potensi tersebut membuat banyak pengusaha di daerah Jawa Tengah yang tergiur untuk mendirikan usaha di bidang penangkapan ikan, hingga menjadi industry perikanan. Jumlah ikan yang melimpah dan pangsa pasar yang luas, sangat menjanjikan keuntungan bagi para investor.
Namun, sebelum terjun ke dalam dunia usaha penangkapan ikan, para pengusaha tersebut perlu mengetahui beberapa regulasi dan kebijakan yang terkait. Dalam hal ini penulis ingin mengingatkan regulasi yang terkait dengan pajak, khususnya rugulasi yang terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Dalam PMK Nomor 186/PMK.03/2019 yang telah diubah dengan PMK Namor 234/PMK.03/2022 dijelaskan bahwa terdapat beberapa objek PBB, yang meliputi sektor perkebunan, sektor perhutanan, sektor pertambangan minyak dan gas bumi, sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, sektor pertambangan mineral atau batubara, dan objek PBB sektor lainnya.
Objek PBB Sektor Lainnya
Objek pajak PBB Sektor Lainnya meliputi bumi dan/atau bangunan selain objek pajak PBB. Sektor-sektor yang telah disebutkan di atas yang berada di wilayah perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi laut pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, atau perairan di dalam Batas Landas Kontinen Indonesia, dan selain objek PBB Perdesaan dan Perkotaan.
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan. Pengertian bumi meliputi permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Oleh sebab itu segala aktivitas manusia yang memanfaatkan laut dapat dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan termasuk penangkapan ikan di laut dalam wilayah NKRI atau yang biasa dikenal PBB Sektor Lainnya.
Bumi sebagaimana dimaksud, meliputi perairan yang digunakan di antaranya untuk perikanan tangkap yang telah diberikan Surat Izin Usaha Perikanan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bumi pada perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap yang terdapat hasil produksi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih perikanan tangkap dengan Angka Kapitalisasi, sedangkan untuk yang tidak terdapat hasil produksi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Adapun NJOP bangunan untuk objek PBB Sektor Lainnya ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
Pendapatan bersih ditentukan sebesar pendapatan kotor dikurangi biaya produksi, dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang. Pendapatan kotor tersebut dihitung dengan cara mengalikan jumlah produksi per jenis ikan dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang dengan harga jual rata-rata per jenis ikan per satuan berat tertentu. Adapun untuk menghitung biaya produksi, adalah dengan cara mengalikan pendapatan kotor dengan Rasio Biaya Produksi
Luas bumi untuk perikanan tangkap merupakan hasil perkalian jumlah kapal dengan luas areal penangkapan ikan per kapal. Luas areal penangkapan ikan per kapal tersebut ditetapkan melalui Perturan Direktur Jenderal pajak dengan mempertimbangkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia atau disingkat WPPRI.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia telah menetapkan pembagian WPP menjadi 11 WPP. Nama perairan yang tidak tersebut dalam pembagian WPP RI, tetapi berada di dalam suatu WPP RI, merupakan bagian dari WPP RI tersebut.
Kurang Populer
Peraturan terkait dengan PBB perikanan tangkap ini masih terbilang kurang popular, yang mengakibatkan masih banyak pengusaha yang tidak mengetahuinya. Sehingga diperlukan sosialisasi dari pemerintah dalam hal ini oleh DJP, agar ketentuan yang ada dalam peraturan ini dapat dilaksanakan dengan baik.