Sidang Kasus Kematian Dokter Aulia

Ibunda Dokter Aulia Risma Lega Selepas Beri Kesaksian di Persidangan: Ingin Hukum Seadil-adilnya

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SELEPAS SIDANG: Ibu kandung mendiang Aulia Risma Lestari, Nuzmatun Malinah, ditemani kuasa hukumnya selepas mengikuti persidangan kasus perundungan dan pemerasan PPDS Anestesi Undip di Pengadilan Negeri (PN) Semarang , Rabu (4/6/2025). Nuzmatun merasa lega selepas memberikan kesaksian dalam persidangan kasus anaknya. (TRIBUN JATENG/IWAN ARIFIANTO)

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Ibu kandung mendiang Aulia Risma Lestari, Nuzmatun Malinah, mengaku lega selepas mengikuti persidangan kasus perundungan dan pemerasan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) di Pengadilan Negeri (PN) Semarang , Rabu (4/6/2025).

Sidang yang dipimpin oleh oleh Hakim ketua Djohan Arifin itu dilakukan secara maraton dengan menghadirkan enam saksi mulai pukul 11.00 WIB hingga selesai pada pukul 22.12 WIB.

Nuzmatun menyebut, merasa lega karena semua keterangannya telah diutarakan di depan Majelis Hakim.

Baca juga: Tim Kemenkes Dihambat Saat Selidiki Kasus Pungli dan Perundungan PPDS Undip, Ini Faktanya

Dia juga bersama jaksa penuntut umum telah menyodorkan bukti ke hakim.

"Saya hanya mengharapkan keadilan, sebab dari kejadian ini anak saya meninggal dunia. 

Lalu disusul suami saya (meninggal tak lama selepas Aulia)," bebernya kepada Tribun sesuai sidang, di PN Semarang.

Dia menuturkan, dalam persidangan sempat mendengar bantahan dari ketiga terdakwa.

Namun, baginya hal itu tak masalah.

"Membantah boleh saja tapi lihat saja faktanya," ungkapnya.

Sidang tersebut menghadirkan pula  tiga terdakwa meliputi Zara Yupita Azra yang merupakan senior dari korban Aulia Risma Lestari,  Kepala Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran (FK) Undip Taufik Eko Nugroho dan Kepala Staf Medis Prodi Anestesiologi FK Undip Sri Maryani.

Sementara dari para saksi terdapat empat saksi dari keluarga Aulia, yakni ibunda almarhum Aulia, Nuzmatun Malinah, dan adik korban, Nadia.

Dua kerabat lainnya masing-masing Akwal Sadika dan Nur Diah Kusumardani.

Adapun dua saksi lainnya dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) masing-masing Pamor Nainggolan dan Yunan.

Dua saksi dari Kemenkes ini memberikan keterangan soal hasil investigasi terkait kasus perundungan dan pungutan liar yang menimpa Aulia Risma Lestari.

Selepas para saksi memberikan keterangan, ketiga terdakwa menyangkal.

Hal itu diutarakan oleh terdakwa Taufik yang menyangkal keterangan dari Nuzmatun Malinah dan keterangan dari Adik Aulia, Nadia.

Sri Maryani juga bersikap sama.

Dia membantah soal adanya setoran uang korban ke dirinya.

"Saya pernah terima uang cash Rp40 juta beberapa orang tapi tidak termasuk dokter Risma," dalihnya.

Begitupun Zara, dia tidak sepakat terkait tudingan yang diterimanya.

Terutama berkaitan dengan memberikan beban kerja berlebihan ke korban yang muncul dari kesaksian adik korban.

"Soal beli parfum dan kopi itu tekanan senior kepada saya lalu saya operkan ke almarhumah.

Saya operkan tradisi itu ke adik kelas (almarhumah) itu arahan dari senior," paparnya.

Kuasa hukum keluarga Risma, Yunisman Alim menilai, bukti-bukti yang disodorkan pihaknya ke kepolisian berupa bukti rekaman suara percakapan sudah cukup menguatkan keterlibatan Zara dalam kasus ini.

Menurutnya, dalam kasus ini tidak ada korelasi lagi dengan senior di atas terdakwa Zara.

Sebab, kasus ini berkorelasi langsung dengan terdakwa yang turut serta dalam kejadian tersebut.

"Urusan ada pelaku lain itu nanti digali lagi oleh kesaksian selanjutnya.

Intinya ada (Hubungan) Junior dan senior antara Zara dan korban.

Jadi tidak ada hubunganmya diperintah oleh atasannya.

Itu urusan lain," terangnya.

Diberitakan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sandhy Handika membacakan dakwaan terhadap ketiga terdakwa.

Dalam dakwaan terhadap dua terdakwa Taufik dan Sri Maryani, jaksa menyebut, perbuatan para terdakwa adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 368 ayat 2 KUHP juncto pasal 64 ayat 1 KUHP.

Para tersangka dijerat pasal  tersebut lantaran diduga telah melakukan pungutan biaya operasional pendidikan (BOP) sebesar Rp80 juta peorang.

Aksi pungutan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah selama pengumpulan dan pemanfaatan dana BOP tersebut.

Biaya resmi PPDS anestesi dan terapi intensif unimed telah ditetapkan dalam keputusan Rektor Unimed Nomor 483/UN7.TP/HK/2022, sehingga tindakan keduanya disebut merupakan pungutan liar (pungli).

"Terdakwa dr. Taufik Eko Nugroho secara konsisten menyatakan bahwa setiap residen atau mahasiswa PPDS semester 2 ke atas wajib membayar iuran BOP sampai dengan sebesar kurang lebih Rp 80 juta per orang," ujar Sandhy.

Sandhy melanjutkan, uang tersebut diklaim untuk memenuhi  keperluan proposal tesis, konferensi nasional, ujian CBT (ujian komputer), jurnal reading dan publikasi ilmiah serta kegiatan lainnya.

Para mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2018-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa Taufik Eko Nugroho.

Namun, para mahasiswa takut untuk melawan. Mereka tak berdaya karena melihat posisi Eko sebagai Kaprodi.

Eko juga menciptakan persepsi ketika lancar bayar BOP maka lancar dalam proses pendidikan.

"Hal itu ditekankan Taufik pada pertemuan dengan para bendahara angkatan," katanya.

Taufik juga diduga dalam mengumpulkan dana BOP residen menunjuk bendahara utama residen untuk mengkoordinir pengumpulan dana dari para mahasiswa.

Selepas terkumpul dana disetor ke terdakwa lainnya yakni Sri Maryani. Oleh Maryani uang dimasukan ke dalam rekening pribadi atas nama dirinya.

"Terdakwa Sri Mariani menerima dana dari berbagai bendahara angkatan dan bendahara utama secara tunai dengan jumlah total mencapai Rp 2,49 miliar," ungkap Sandhy.

Sandhy melanjutkan, dana miliaran rupiah itu berasal dari para residen lintas angkatan sejak tahun 2018-2023.

Taufik dan Maryani juga menerima   sejumlah uang secara langsung dari dana tersebut.
Terdakwa Taufik yang selama jabatan sebagai Kaprodi telah merima  setidak-tidaknya Rp 177 juta.

Adapun terdakwa Sri Maryani mendapatkan keuntungan berupa honor sebesar Rp 400 ribu per bulan dari sumber keuangan BOP residen dengan total sebesar Rp 24 juta.

Senior Mendiang Aulia Risma Dijerat Pasal Ancaman dengan Kekerasan

Sandhy dalam tuntutan terhadap terdakwa Zara menyebutkan, terdakwa dituntut pasal 335 ayat 1 KUHP (ancaman kekerasan).

Perbuatan terdakwa Zahra Yuvita Azra secara melawan hukum memaksa mahasiswa anestesi Undip angkatan 77 untuk mematuhi pasal anestesi dan tata krama anestesi.

Terdakwa Zara melakukan pertemuan online lewat zoom meeting dengan angkatan 77 yang mana terdapat korban Aulia Risma Lestari.

Zara menjelaskan pasal anestesi, larangan anestesi dan operan tugas anestesi seperti menyediakan transportasi mobil, menyediakan logistik di ruang bunker anestesi dan lainnya.

Terkait  pasal-pasal anestesi bersifat dogmatis yang harus ditaati tanpa boleh dibantah.

Pasal itu meliputi  senior selalu benar.

Pasal 2 bila senior salah kembali ke pasal 1.

Pasal 3 hanya ada kata Ya dan Siap.

Jangan pernah mengeluh dan seterusnya.

Selain pasal anestesi, terdapat pula sistem kasta anestesi. Kasta itu mencakup tujuh tingkatan hirarki.

Ketujuh tingkat itu dimulai dari mahasiswa tingkat satu, kakak pembimbing (kambing) atau mahasiswa tingkat dua.

Kemudian middle senior yakni mahasiswa tingkat tiga-empat, senior atau mahasiswa tingkat lima, shift of shift atau mahasiswa tingkat 6-7.

Kasta paling tinggi yakni dewan suro atau mahasiswa tingkat 8 atau akhir, hingga dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP).

Dalam sistem ini , terdakwa Zara bertindak sebagai kakak pembimbing atau kambing dari almarhum Aulia Risma.

"Sistem tingkatan atau kasta antartingkatan ini diberlakukan secara turun-temurun dan dikuatkan melalui doktrin internal yang dikenal sebagai pasal anestesi," papar Sandhy.

Para mahasiswa anestesi juga dibebankan untuk membayar jasa joki tugas senior yang telah menghabiskan uang hingga ratusan juta yang bersumber dari dana iuran para mahasiswa PPDS anestesi.

Tercatat oleh jaksa, ada kerugian materi sebesar Rp864 juta untuk biaya makan senior, jasa joki untuk tugas-tugas akademik senior.

Aulia Risma pernah mengeluhkan penggunaan uang tersebut kepada ibunya, tetapi tetap melakukan transaksi atas perintah seniornya yang mengintimidasi melalui pasal anestesi.

"Aturan itu secara nyata merupakan bentuk intimidasi psikologis dan ancaman terselubung," beber Sandhy.

Dia menyebutkan, terdakwa Zara  pernah pula mengintimidasi dan menghukum dengan memakai ancaman psikologis dan kata-kata kasar.

Zara melontarkan kata-kata intimidasi di antaranya seperti goblok, lelet dan payah serta memberikan hukuman berdiri selama 1 jam dan difoto kemudian dibagikan di grup WhatsApp 23 anestesi.

"Selepas itu dilakukan evaluasi pada pukul 02.00 sampai 03.00 dinihari.

Para angkatan 77 anestesi (angkatan Aulia Risma) tidak berani melawan.

(Doktrin) Ketika melawan berarti hambatan dalam pelajaran akademik," ujar jaksa. (Iwn)

Baca juga: Kesaksian Kemenkes Soal Perundungan Dokter Aulia Risma PPDS Undip, Suruh Bayar Segini

Berita Terkini