TRIBUNJATENG.COM, PANGKALAN KERINCI - Pesan menarik disampaikan Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Veronica Tan, saat mengisi sesi inspirational talk Tanoto Scholars Gathering (TSG) 2025.
Di depan para penerima Beasiswa Tanoto Foundation tersebut, dia mengajak mahasiswa untuk kembali ke dasar: mengasah akal budi dan mendengarkan hati nurani.
Veronica menekankan kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk menjadi manusia utuh di era digital yang penuh distraksi.
“Akal itu intellect, kemampuan. Kita bisa punya IQ tinggi, tapi itu harus ditempelin dengan budi. Artinya, akal budi itu tidak bisa dipisahkan,” ujar Veronica.
Pesan mendalam itu disampaikannya di tengah sorotan terhadap generasi muda yang kerap dicap sebagai generasi strawberry, yakni generasi yang tampak menarik di permukaan namun rapuh saat menghadapi tekanan hidup.
Veronica hadir dalam TSG 2025 di kawasan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), Pangkalan Kerinci, Kab Pelalawan, Riau, Rabu (23/7/2025).
Kegiatan ini mempertemukan 291 Tanoto Scholars, sebutan untuk penerima beasiswa TELADAN Tanoto Foundation, dari 10 kampus mitra di seluruh Indonesia.
Mereka berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Riau, dan Universitas Hasanuddin.
Selanjutnya IPB University, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Mulawarman, dan Universitas Sumatera Utara.
Tantangan Generasi Muda di Era Digital
Julukan generasi strawberry pertama kali mencuat di Taiwan, digunakan untuk menggambarkan generasi muda yang tampak hebat namun cepat ‘memar’ ketika menghadapi tekanan.
Fenomena ini kini mencuat di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Berdasarkan Survei Nasional Kesehatan Mental Remaja Indonesia 2024, ditemukan 15,5 juta remaja di Indonesia mengalami masalah kesehatan mental, setara 34,9 persen dari total jumlah remaja di Indonesia.
Sementara itu, Riskesdas 2023 menunjukkan sekitar 2 persen penduduk usia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan skizofrenia.
Data ini menempatkan Indonesia pada risiko masyarakat rapuh secara mental, terutama di kalangan Gen Z.
Tekanan akademik, paparan media sosial, dan ekspektasi sosial yang tinggi menjadi beberapa faktor penyebabnya.
Generasi muda hari ini tumbuh dalam lanskap digital yang begitu cepat dan tak selalu ramah.
Meski demikian, Veronica meyakini bahwa mereka memiliki kapasitas luar biasa untuk beradaptasi dan berkembang, asal mampu menjaga keseimbangan antara logika dan nurani.
“Kalian sekarang jauh lebih terpapar informasi dari berbagai sumber. Resiliensi kalian harus lebih kuat dari generasi kami dulu. Jangan biarkan emosi kalian melebihi akal sehat,” ujarnya kepada para Tanoto Scholars.
Keseimbangan antara Emosi, Nalar, dan Nilai
Veronica menyoroti pentingnya kemampuan generasi muda untuk menyeleksi informasi dan konten yang mereka konsumsi setiap hari.
Ia menyebut paparan konten yang bersifat sensasional dan emosional di media sosial sebagai tantangan tersendiri dalam menjaga ketenangan batin dan kejernihan berpikir.
Alih-alih mengikuti arus konten viral yang tak mendidik, ia mendorong mahasiswa untuk memperkaya diri dengan bacaan bermutu, refleksi moral, dan dialog yang berlandaskan nilai.
“Kalau mau jadi champion of good, carilah bacaan yang berkualitas. Keseimbangan antara emosi dan akal budi itu penting. Jangan sampai kehilangan akal hanya karena emosi sesaat,” tuturnya.
Pesannya sederhana namun kuat: jadikan hati nurani sebagai kompas moral, dan gunakan akal budi sebagai alat navigasi.
Ini adalah fondasi penting bagi generasi muda agar tidak larut dalam gelombang dunia maya yang deras.
Membangun Perubahan lewat Kolaborasi dan Komunitas
Selain penguatan nilai individual, Veronica juga menekankan pentingnya komunitas dan dukungan sosial dalam membentuk karakter dan semangat perubahan.
Dalam pandangannya, seseorang tidak bisa menjadi agen perubahan sendirian.
“Kalau kita punya teman yang mendukung moral dan pemikiran kita, satu orang saja bisa memberi dampak. Tapi kalau seribu orang bergerak bersama, dampaknya bisa jauh lebih besar,” katanya.
Ia mengajak Tanoto Scholars untuk membangun solidaritas di tengah tantangan zaman, terutama dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dan integritas yang saat ini justru semakin dibutuhkan.
Salah satu poin penting dari pidato Veronica adalah seruan untuk speakup.
Menurutnya, generasi muda harus berani menyuarakan nilai-nilai kebaikan yang mereka yakini.
Di tengah dominasi konten negatif dan destruktif di media sosial, suara yang berpihak pada moralitas tidak boleh diam.
“Kalau memang kita harus speak up on behalf of the morality, maka kita harus lakukan. Ini cara kita membuat perubahan,” ujarnya.
Dalam konteks inilah, peran Tanoto Scholars sebagai pemimpin muda masa depan diuji.
Mereka tak hanya ditantang untuk unggul secara akademik, tetapi juga membawa nilai—dalam sikap, perkataan, dan tindakan.
Mencetak Pemimpin Masa Depan
Acara Tanoto Scholars Gathering 2025 ini berlangsung pada 24–26 Juli 2025 di Komplek RAPP, Pangkalan Kerinci.
Kegiatan ini merupakan bagian dari Program TELADAN—program beasiswa S1 dari Tanoto Foundation yang tidak hanya mendukung biaya kuliah tetapi juga memberikan pelatihan kepemimpinan terstruktur selama masa studi, serta pembinaan alumni.
CEO Tanoto Foundation, Benny Lee, menyebutkan bahwa tema TSG 2025, “Becoming The Champion ofGood,” adalah bagian dari misi besar Tanoto Foundation untuk mencetak pemimpin masa depan yang tidak hanya kompeten tetapi juga berkarakter.
“Filosofi untuk senantiasa membawa dampak positif ini diwariskan oleh pendiri Tanoto Foundation, Bapak Sukanto Tanoto dan Ibu Tinah Bingei Tanoto,” ujar Benny. (*)