Bisnis

Biaya Logistik di Indonesia Capai 24 Persen dari PDB, Aplikasi Digital Jadi Solusi Efisiensi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BINCANG SIANG - CEO Muat Muat, Daniel Budi Setiawan memberikan pemaparan dalam Bincang Siang Seputar Angkutan Barang: Strategi Efisiensi Operasional dan Peningkatan Daya Saing Perusahaan Transportasi Darat di Era Digital, di Semarang, Selasa (5/7/2025). 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Tingginya biaya logistik di Indonesia yang mencapai 24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi perhatian serius para pelaku logistik. 

Perlu adanya terobosan agar dapat menekan biaya logistik.

Hal tersebut dibahas dalam Bincang Siang Seputar Angkutan Barang: Strategi Efisiensi Operasional dan Peningkatan Daya Saing Perusahaan Transportasi Darat di Era Digital, di Semarang, Selasa (5/7/2025). 

CEO Muat Muat, Daniel Budi Setiawan menilai perlu adanya terobosan digital untuk menekan biaya logistik yang jauh lebih tinggi dibanding negara lain di kawasan ASEAN maupun negara maju.

Baca juga: Mobil Ambulans Parkir 24 Jam di Depan Kantor Bupati Pati, Warga Donasi Logistik dan Telur Busuk

Baca juga: SCU dan PT SPIL Luncurkan SPIL Research Center, Wadah Pengenalan Industri Logistik

"Kalau di negara-negara maju, atau bahkan di ASEAN, biaya logistik itu hanya sekitar 8 sampai 15 persen dari PDB.

Tapi, di Indonesia bisa mencapai 24 persen. Sayang sekali kalau biaya sebesar itu hanya habis untuk urusan logistik,” ujar Daniel. 

Aplikasi digital, menurut dia, menjadi salah satu solusi menekan biaya logistik.

Muat Muat, aplikasi digital berbasis ekosistem logistik dirancang untuk mempertemukan pemilik barang atau shipper dan pemilik armada transporter secara langsung dan efisien.

"Aplikasi ini membantu komunitas logistik agar memperoleh keuntungan langsung tanpa harus investasi besar di wilayah yang menjadi target pengiriman.

Misalnya, transporter dari Semarang tidak perlu sewa tempat di Jakarta hanya untuk operasional. Semua bisa dikelola lewat aplikasi,” jelasnya.

Melalui platform ini, pemilik truk dapat mengunggah ketersediaan armadanya, sementara pemilik barang bisa mencari mitra pengiriman yang sesuai kebutuhan. Mereka juga bisa meninjau company profile masing-masing calon mitra sebelum menentukan pilihan.

Menurut Daniel, sistem ini telah berjalan di wilayah Jawa dan Sumatera Utara. Ini terbukti membantu menurunkan biaya pemasaran. 

"Dengan biaya pemasaran yang lebih efisien, otomatis revenue bisa naik. Aplikasi ini kami kembangkan untuk membawa perubahan di sektor logistik," sebutnya.

Pihaknya menargetkan jumlah transporter dalam aplikasi digital ini dapat meningkat hingga 4.000 hingga akhir tahun ini.

Saat ini, jumlah pengguna terdaftar lebih dari 20.000 buyer, 5.000 seller, dan sekitar 1.000 shipper serta transporter. 

Kendati demikian, diakuinya, tantangan utama pada edukasi pengguna.

Pasalnya, belum seluruhnya pelaku logistik melek teknologi dan dapat mengadopsi sistem digital.

Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Tanjung Emas, Supriyono menyebut, aplikasi ini sebagai inovasi yang bisa menjadi perubahan di sektor logistik nasional.

"Ada aplikasi digital, kami sebagai pengusaha truk jelas senang. Ini bukan soal jualan layanan, tapi lebih ke membangun ekosistem," ujarnya. 

Dia menyoroti tantangan logistik selama ini, khususnya muatan yang tidak seimbang antara keberangkatan dan kepulangan.

Dengan aplikasi digital, truk bisa membawa muatan baik keberangkatan maupun kepulangan. 

“Yang paling utama dalam bisnis truk itu ya tiktok, alias ada muatan berangkat dan muatan pulang.

Selama ini kita banyak kirim barang dari Semarang ke Jakarta, tapi pulangnya kosong. Itu yang bikin rugi.

Nah, dengan aplikasi, bisa mempertemukan pemilik barang dari Jakarta yang butuh kirim ke Semarang,” jelasnya. (eyf)

 

Berita Terkini