TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Polemik yang menimpa bocah berinisial JES (8), yang kesulitan mengakses pendidikan karena rumah orang tuanya ditutup pagar seng, kini menjadi perhatian serius publik dan Pemerintah Kota Semarang.
Dalam perkembangan terbaru, keluarga JES dikabarkan mulai mendapat tekanan dari warga sekitar untuk segera angkat kaki dari lingkungan tempat tinggal mereka di kawasan Gajahmungkur, Semarang.
Menanggapi situasi tersebut, Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti menyatakan bahwa pemerintah tidak tinggal diam.
Ia menegaskan, setiap anak di Kota Semarang, termasuk JES, berhak mendapatkan akses pendidikan dan kehidupan yang layak.
Dia akan memastikan hak-hak anak, khususnya dalam hal pendidikan, tetap terpenuhi.
Dia juga sudah minta Camat Gajahmungkur untuk turun langsung dan menelusuri akar persoalannya, agar bisa ditemukan solusi terbaik.
“Ya, pokoknya kita harus bantu.
Kita harus bantu semua anak tidak terkecuali mendapatkan akses pendidikan yang layak dan akses ekonomi tentunya,” ujar Agustina, Selasa (5/8/2025).
"Nanti camatnya Gajahmungkur tak suruh nyari,” ujarnya.
Agustina juga menyinggung soal kondisi sosial di lingkungan tempat tinggal JES yang disebut-sebut memicu konflik karena keluarga tersebut memelihara anjing.
Menurut informasi, keberadaan hewan peliharaan tersebut dianggap warga sekitar mengganggu ketenangan warga.
“Ya, itu harus dikomunikasikan dengan warga setempat. Nah itu bisa panggil Pak Camat untuk bisa segera membuat adem dan nyaman lah," ujarnya.
Sebelumnya, kasus JES viral setelah rumah keluarganya ditutup pagar seng oleh warga.
Ayah JES, Julian Boga Siagian (54) kini mendapatkan tuntutan untuk segera meninggalkan rumah tersebut.
Tuntutan itu diungkapkan warga RT 7 RW 1 Kelurahan Bendan Ngisor, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang dengan pemasangan spanduk yang dipasang di jalan masuk menuju rumah Siagian.
Spanduk warna kuning bergaris merah itu bertuliskan "Warga RT 07 RW 01 Kelurahan Bendan Ngisor Menolak Warga Atas Nama Juladi Boga Siagian.
Warga Menghimbau Untuk Yang Bersangkutan Dapat Segera Pindah dari RT 07 RW 01 Kelurahan Bendan Ngisor".
Ketua RT 7 RW 1 Bendan Ngisor, Sugito membenarkan spanduk tersebut dipasang oleh warganya pada Minggu (3/8/2025).
Pemasangan itu, kata dia, hasil dari musyawarah warga yang sudah dilakukan sebelumnya.
"Bukan saya yang mengizinkan atau tidak, pemasangan spanduk itu tindak lanjut dari petisi warga. Jadi ini kehendak mereka," kata Sugito kepada Tribun, sebelumnya.
Dalam dokumen yang bertanggal 3 Agustus 2025 itu, tertera delapan catatan warga mengenai perilaku Siagian di antaranya tidak pernah bersosialisasi dengan warga sekitar, membakar sampah sembarangan, membiarkan anjingnya berkeliaran, melakukan pencemaran nama baik warga hingga melakukan pengancaman.
Berdasarkan hal itu, warga meminta Siagian pindah dari tempat tersebut.
"Ya warga menolak yang bersangkutan tinggal di situ karena beberapa alasan di antaranya ada peliharaan anjing yang diliarkan dan persoalan sampah," lanjutnya.
Menanggapi soal petisi warga, Siagan membantah tudingan yang ditujukan kepada nya.
"Itu bukan sampah, tapi barang rongsokan yang saya jemur di pinggir jalan karena tidak ada tempat, itupun nanti saya rapikan lagi," terangnya menjawab perihal sampah.
Sedangkan soal anjing, diakuinya melepas anjing peliharaannya pada malam hari. "Saya ketika melepas anjing saya pada malam hari selalu saya pantau.
Habis itu saya masukan ke rumah lagi," klaimnya.
Sementara itu, soal tudingan tak pernah bersosialisasi dengan warga, dia meminta maaf kepada warga.
"Saya kerja dari subuh sampai malam mencari dan memilah rongsokan untuk menghidupi keluarga jadi mohon maaf kalau kurang sosialisasi.
Namun, saya selama ini juga tidak pernah diundang arisan warga," ungkapnya.
Siagian mengaku, kini hanya bisa pasrah dengan tuntutan warga tersebut.
Namun, dia mempertanyakan ketika diminta pindah siapa yang mau bertanggungjawab.
"Tolong berikan solusi, jangan asal usir, itu melanggar HAM.
Silahkan usir tapi carikan tempat untuk kami tinggal," ungkapnya. (idy)