Berita Wonosobo

Rata-rata Lama Sekolah Hanya 6,9 Tahun, Wonosobo Genjot Pendidikan Lewat Program SOOD

Penulis: Imah Masitoh
Editor: Catur waskito Edy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SOSIALISASI SOOD - Program Sekolah Online Orang Dewasa (SOOD) disosialisasikan di Kelurahan Kertek, Selasa (29/7/2025). Program SOOD digenjot Pemkab Wonosobo untuk meningkatkan angka rata-rata lama sekolah.

TRIBUNJATENG.COM, WONOSOBO - Kabupaten Wonosobo menghadapi tantangan besar terkait pendidikan yang berdampak pada tingginya angka kemiskinan. 

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata lama sekolah masyarakat di Wonosobo baru sekitar 6,9 tahun, setara kelas 1 SMP. 

Angka ini masih jauh dari ideal untuk meningkatkan kualitas hidup dan daya saing warga.

Bupati Wonosobo, Afif Nurhidayat, mengambil langkah strategis dengan menerbitkan Surat Edaran No. 1654 Tahun 2025 tentang Gerakan Peningkatan Angka Rata-rata Lama Sekolah dan Harapan Lama Sekolah. 

Program Sekolah Online Orang Dewasa (SOOD) dapat menjadi langkah nyata dalam menekan angka kemiskinan dan memperluas akses pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Menurut Plt. Kabag Kesra Setda Wonosobo, Nurwahid, program ini lahir dari keprihatinan terhadap rendahnya angka rata-rata lama sekolah di Wonosobo.

“Memang angka rata-rata lama sekolah kita kan masih rendah ya, kalau dari data 6,9. Nah, itu tentu diperlukan terobosan untuk melakukan upaya peningkatan,” ujarnya saat ditemui, Jumat (22/8/2025).

Sekolah online dirancang menyasar masyarakat usia 25 tahun ke atas, seperti petani, pekerja, atau warga yang tidak melanjutkan jenjang pendidikan menengah atas.

Nurwahid menekankan bahwa fleksibilitas menjadi kunci utama. Masyarakat bisa belajar dari rumah, balai desa, atau tempat yang difasilitasi oleh pemerintah.

Pemerintah menargetkan sekitar 5.300 peserta dari 265 desa di 15 kecamatan yang akan dibagi dalam pusat-pusat pembelajaran.

“Kemarin kami sudah berkoordinasi dengan Disdikpora. Itu sekitar 5.300 peserta. Nanti satu titik pembelajaran, pakai Zoom, belajar bareng. Pembelajaran terpusat, tapi bisa diakses seluruh desa,” jelasnya.

Program ini akan dijalankan melalui mekanisme pendidikan kesetaraan, bekerjasama dengan PKBM dan Dinas Pendidikan. 

“Kami tentu akan berkomunikasi dengan dinas teknis, terutama Dinas Pendidikan, karena fungsi kami di sekretariat daerah adalah merumuskan bahan kebijakan, mengkoordinasi pelaksanaan dan evaluasinya," lanjutnya.

Kepala Disdikpora Wonosobo, Musofa mengaku proses menjaring warga untuk ikut dalam program ini tidak lah mudah.

Perpanjangan pendataan sempat dilakukan agar seluruh desa memiliki waktu cukup untuk menjaring peserta.

Pendataan dilakukan dari desa, dikirim ke kecamatan, lalu diteruskan ke PKBM sesuai plotting wilayah. 

Persyaratan administrasi berupa ijazah SMP/sederajat yang dilegalisir dan Kartu Keluarga. 

Setelah data masuk dan diinput, peserta langsung bisa mengikuti pembelajaran pada waktunya nanti. Diperkirakan SOOD akan dimulai pada September mendatang.

Targetnya, setiap desa minimal mengirim 20 peserta. Jadi satu kabupaten jika kuota terpenuhi dapat mencapai 5.300 peserta.

Saat ini, program hanya mencakup Paket C (setingkat SMA). Namun program ini diyakini jadi pintu gerbang besar bagi pendidikan alternatif.

"Yang hanya sampai SD dan SMP belum diberi ruang karena keterbatasan sumber daya," jelas Musofa.

Pembelajaran dilakukan terpusat via Zoom, dengan desa menyediakan fasilitas seperti LCD dan internet. 

"Nanti bareng-bareng pembelajarannya seperti nobar, tapi kalau ini pembelajaran online-nya," ungkapnya.

Kegiatan belajar dijadwalkan 1-2 kali per minggu, menyesuaikan dengan waktu luang peserta yang mayoritas sudah bekerja. 

Kurikulum formal akan dikombinasikan dengan materi yang sesuai kebutuhan orang dewasa agar tidak menjenuhkan.

Program ini gratis bagi peserta. Sementara pembiayaan teknis, termasuk tenaga input data dan pengajar, difasilitasi oleh pemerintah kabupaten. 

"Kalau dihitung waktunya, malah jadi enggan belajar. Yang penting mulai dulu, tahu-tahu lulus," kata Musofa memberi semangat.

Bagi yang sudah lulus akan mendapat ijazah kesetaraan resmi yang bisa dipakai untuk melamar kerja, jadi perangkat desa, dan lainnya. 

Dengan program ini, Musofa optimis pada tahun 2029 angka itu bisa naik menjadi minimal 9 tahun, atau setara lulus SMP.

"Gerakan ini bukan hanya soal angka, tapi soal mindset. Kalau ini jalan, angka rata-rata sekolah bisa naik, pola pikir juga ikut berubah," tandasnya.

Sementara itu, Ketua Komisi D DPRD Wonosobo, Suwondo Yudhistira turut memberikan pandangan terkait program baru Pemkab Wonosobo berupa SOOD ini.

Menurutnya, program ini patut diapresiasi sebagai respons terhadap perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat dewasa yang terkendala waktu, namun tetap perlu disikapi dengan bijak.

Namun, ia mengingatkan agar model pembelajaran tidak sepenuhnya mengandalkan sistem daring. 

Menurutnya, pendidikan tetap memerlukan interaksi langsung antara pengajar dan peserta didik. Baginya, sistem online hanya pelengkap, bukan pengganti utama dalam pembelajaran. 

“Tetap harus ada perpaduan. Kalau misalnya online, tetap di waktu-waktu tertentu harus dijadwalkan tatap muka. Karena beda interaksinya,” ujarnya.

Soal sasaran program yang menyasar masyarakat dewasa, Suwondo menilai bahwa pendidikan bagi orang dewasa seharusnya difokuskan pada penguasaan keterampilan, bukan sekadar mengejar ijazah formal.

Ia mengingatkan bahwa ilmu umum tanpa penerapan keterampilan praktis akan kurang berdampak. 

Maka dari itu, pendidikan orang dewasa seharusnya diarahkan untuk meningkatkan daya tahan ekonomi dan produktivitas mereka.

“Harus didorong ke penguasaan skill, sehingga mereka bisa mencari sumber penghasilan dari keterampilan yang didapatkan,” ujarnya.

Saat ditanya soal efektivitas program ini untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah di Wonosobo, Suwondo secara tegas menyatakan bahwa program tersebut tidak terlalu urgen dibandingkan memperluas akses pendidikan bagi anak usia sekolah.

“Itu hal yang tidak terlalu urgen. Yang paling penting itu diberikan kepada anak-anak usia sekolah yang seharusnya sekolah tapi belum sekolah,” ungkapnya.

Menurutnya, jika hanya untuk mengejar statistik rata-rata lama sekolah, program ini bisa terjebak dalam pencitraan formalitas, bukan perbaikan substansi pendidikan.

“Kalau hanya sekadar meningkatkan rata-rata angka sekolah, berarti kan kita hanya sekadar mengejar peringkat. Yang kita inginkan itu penyiapan generasi muda,” sebutnya.

Suwondo tidak menolak sepenuhnya adanya Sekolah Online Orang Dewasa. Ia mengakui bahwa itu adalah bagian dari hak masyarakat untuk mendapat akses pendidikan, apalagi jika dibutuhkan untuk melamar pekerjaan atau memenuhi syarat administrasi tertentu.

“Itu boleh-boleh saja, itu hak masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan yang layak. Tapi prioritas tetap pada anak-anak muda yang usia sekolah,” tandasnya. (ima)

Baca juga: Kajen Tumandang Kajen Kumandang, Gaungkan Semangat 403 Tahun Kabupaten Pekalongan

Baca juga: Pak Babin di Kendal Diminta Perkuat Kolaborasi Jaga Kondusivitas Daerah

Baca juga: Imbas Kebakaran, Proses Verifikasi Ribuan Sumur Minyak di Blora Ditahan

Berita Terkini