Berita Jateng
Dituding Langgar HAM, Polda Jateng Didesak Batalkan Wajib Lapor dan Minta Maaf pada Korban
Tim Hukum Solidaritas untuk Demokrasi (Suara Aksi) menilai penangkapan secara serampangan terhadap massa aksi Polda Jawa Tengah diduga melanggar HAM.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Tim Hukum Solidaritas untuk Demokrasi (Suara Aksi) menilai penangkapan secara serampangan terhadap massa aksi yang dilakukan oleh Polda Jawa Tengah diduga merupakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Pelanggaran itu terjadi karena proses penangkapan yang dilakukan rentang waktu 29 sampai 30 Agustus itu tidak sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan norma asasi manusia.
Bahkan, para korban asal tangkap yang mayoritas anak-anak dibebani polisi dengan wajib lapor seminggu dua kali.
Baca juga: 2 Alasan LBH Semarang Menilai Polda Jateng Tak Profesional Tangani Kematian Iko Juliant Junior
"Ada dugaan bahwa kepolisian daerah Jawa Tengah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia saat proses penangkapan tersebut," terang Anggota Tim Suara Aksi, Kahar Muamalsyah kepada Tribun, di kota Semarang, Rabu (3/9/2025).
Tim Suara Aksi merupakan aliansi sejumlah advokat di Jawa Tengah yang berfokus melakukan pendampingan terhadap korban kekerasan kepolisian terutama saat aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada 29-30 Agustus 2025.
Kahar melanjutkan, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kepolisian bisa dilihat dari proses penangkapan pemeriksaan.
Padahal pemeriksaan seharusnya didampingi oleh penasihat hukum atau advokat tetapi kenyataannya sampai akhirnya dibebaskan tanpa pendampingan penasihat hukum.
"Advokat itu tidak diizinkan untuk mengakses atau orang-orang yang ditangkap itu tidak diizinkan untuk mengakses penasihat hukum yang dia pilih. Artinya polisi telah menghalang-halangi penegakan hukum berdasarkan undang-undang," terangnya.
Suara Aksi menyayangkan pula soal para korban yang dikenai wajib lapor. Padahal , kewajiban itu adalah untuk orang-orang yang berada di dalam tahanan rumah, tahanan kota atau mereka yang ditangguhkan penahanannya.
"Artinya status mereka tersangka. Ketika mereka tersangka karena mereka tidak ditahan atau di dalam tahanan kota untuk mencegah mereka melarikan diri, maka mereka wajib lapor. Nah, tetapi sedangkan mereka ini anak-anak ini tidak ada status apapun," terangnya.
Sementara, para korban yang ditangkap ini dipulangkan tanpa kejelasan sebagai saksi atau tersangka. Ketika dinyatakan status itu pun harus dibuka ke publik melalui gelar perkara yang jelas.
"Makanya tidak kita menyatakan tidak ada dasar hukum jelas kenapa mereka harus wajib lapor," ucapnya.
Menurut Kahar, seharusnya para korban salah tangkap tersebut tidak perlu melaksanan wajib lapor. Namun, para korban ini terlanjur oleh aparat kepolisian.
"Kerjanya polisi yang seharusnya sebagai instrumen sipil tetapi bertindak seperti militer. Nah, itu yang kemudian membuat orang-orang menjadi takut, orang-orang menjadi ngeri kalau berhubungan dengan aparat, kan begitu. Jadi, karena itu yang terjadi selama puluhan tahun, akhirnya ketika mereka disuruh apapun, ya nurut," ungkapnya.
Adanya dugaan pelanggaran HAM itu, Kahar kini sedang menyusun pembuatan laporan soal pelanggaran HAM tersebut yang nantinya bisa ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang. Akan tetapi, pihaknya kini masih fokus untuk menolong para korban wajib lapor itu.
"Kami menyelamatkan mementingkan keselamatan kawan-kawan dulu yang dikenai sanksi wajib lapor," ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang Ahmad Syamsuddin Arief mengatakan, data yang sudah dihimpun pihaknya dan Tim Suara Aksi sudah ada sebanyak 475 orang yang menjadi korban salah tangkap.
Selain itu, mereka juga mengadu sejumlah barang pribadi mereka menjadi barang sitaan yang belum dikembalikan. "Mereka juga kena wajib lapor yang menyulitkan para korban karena harus dua kali dalam seminggu," terangnya.
Arief menyebut, peristiwa asal tangkap oleh polisi terhadap ratusan massa aksi di Jawa Tengah harus ditindaklanjuti oleh Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kementerian PPA, Komisi Perlindungan Anak dan Ibu, Komisi Nasional Disabilitas.
Para lembaga tersebut untuk mendorong institusi kepolisian untuk menghentikan tindakan yang sewenang-wenang, menghentikan tindakan brutal, menghentikan sweeping dan penangkapan tanpa dasar.
"Polisi juga harus mencabut status tersangka korban penangkapan," terangnya.
Pihaknya mendesak Polda Jawa Tengah untuk meminta maaf kepada korban dan orang tua korban penangkapan juga bertanggung jawab melakukan pemulihan kondisi korban penangkapan.
"Presiden, DPR, dan seluruh jajarannya untuk segera bertanggung jawab atas kondisi yang terjadi saat ini," paparnya.
Bantahan Polda Jateng
Polda Jawa Tengah menangkap sebanyak 1.747 orang buntut sejumlah aksi demonstrasi di berbagai daerah selama rentang waktu 29 Agustus hingga 1 September 2025.
Dari ribuan orang yang ditangkap tersebut, sebanyak 1.058 orang di antaranya merupakan anak-anak.
Penangkapan ribuan orang itu hanya berujung 46 orang ditetapkan sebagai tersangka terdiri dari 27 dewasa dan 19 anak-anak. Sisanya sebanyak 1.694 orang dipulangkan.
Namun, Polda Jateng membantah pemulangan tersebut karena salah tangkap atau penangkapan secara serampangan.
" Tidak (salah tangkap) mereka ditangkap oleh petugas yang ada di lapangan saat berada di lokasi kejadian," jelas Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Jateng Kombes Pol Dwi Subagio di Mapolda Jateng, Selasa (2/9/2025).
Selepas penangkapan itu, Dwi menyebut, pihaknya melakukan penyelidikan untuk memperkuat apakah yang bersangkutan ini melakukan atau tidak.
"Jadi proses masih berjalan dan kemungkinan bisa jadi akan ada penambahan-penambahan para tersangka yang lainnya," bebernya.
Berdasarkan data dari Polda Jateng, Polres yang paling banyak melakukan penangkapan adalah Polres Grobogan dengan jumlah orang yang ditangkap sebanyak 238 orang (53 dewasa, 185 anak-anak), Polres Brebes 163 orang (92 dewasa, 71 anak-anak), Polrestabes Semarang sebanyak 135 orang (60 dewasa, 75 anak-anak).
Berikutnya, Polres Temanggung menangkap sebanyak 99 orang (82 dewasa, 17 anak-anak), Polresta Surakarta atau Solo sebanyak 74 orang (43 dewasa dan 31 anak-anak).
Sisanya ditangkap oleh sejumlah 14 Polres lain yang masing-masing menangkap sekitar 2 hingga 40 orang.
Meskipun begitu, jumlah tangkapan yang paling banyak dilakukan oleh Polda Jateng yakni sebanyak 420 orang meliputi 124 dewasa dan 296 anak-anak.
"Untuk orang yang diamankan di Polda Jateng berasal dari Kota Semarang, Demak dan Ungaran (Kabupaten Semarang)," kata Dwi.
Menurutnya, penangkapan oleh pihaknya diterbitkan dua laporan meliputi kasus demonstrasi pada Jumat 29 Agustus 2025 dan Sabtu 30 Agustus 2025.
Ia merinci, pada kasus tanggal 29, ada dua tersangka tetapi kedua orang ini belum ditangkap. Kedua tersangka ini diduga melakukan pembakaran mobil dan penyerangan Mapolda Jateng.
"Kami masih melengkapi alat buktinya, soal identitas sudah kami kantongi," bebernya.
Sedangkan untuk tanggal 30 Agustus, pihaknya menetapkan tujuh tersangka mencakup satu tersangka dewasa berinisial MRA (19) warga Demak. Tersangka MRA dihadirkan langsung saat konferensi pers di Mapolda Jateng, Kota Semarang, Selasa (2/9/2025) sore. Berpakaian tahanan warna biru, MRA yang merupakan remaja putus sekolah hanya bisa tertunduk.
Kemudian untuk enam tersangka anak-anak meliputi AF (15) dan MNF (15), keduanya warga kota Semarang. Adapun tersangka MFA (17), MSK (17), RAP (16) ketiganya warga Demak. Para tersangka anak ini tidak ditahan.
"Tujuh tersangka dijerat pasal 212 dan atau pasal 214 yaitu perlawanan terhadap pejabat negara yang sedang melaksanakan tugas secara sah. Pasal 212 ancaman 1 tahun 4 bulan. Sedangkan pasal 214 adalah 7 tahun," tuturnya.
Motif Penyerangan
Dwi mengungkapkan, motif para tersangka melakukan penyerangan terhadap kepolisian karena terhasut oleh ajakan di media sosial.
Oleh karena itu, pihaknya bekerjasama dengan Direktorat Reserse Siber Polda Jateng untuk menelisik akun-akun yang melakukan penyebaran ajakan tersebut.
"Rata-rata mereka terpengaruh ajakan dari media sosial. Direktorat Siber masih dalam proses identifikasi dan analisa akun-akun tersebut," terangnya.
Baca juga: Sosok Pelempar Bangkai Tikus di Demo Polda Jateng Jadi Tanda Awal Kericuhan, Anak Kecil Baju Coklat
Sementara Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng Kombes Pol Artanto mengatakan, mayoritas para remaja yang ditangkap terhasut oleh ajakan dari media sosial Tik Tok.
"Ada beberapa akun yang sudah kami kantongi, sedang dalam penyelidikan," katanya. (Iwn)
Fakta Mengejutkan! Anak ASN Wonosobo Juga Ada Yang Kena Stunting, Diduga Salah Pola Asuh |
![]() |
---|
Tim Siber Polda Jateng Patroli TikTok hingga Sweeping Grup WA, Komen Seperti Ini yang Dicari |
![]() |
---|
Ini Daftar Lengkap Jumlah Orang yang Ditangkap di Masing-masing Polres di Jateng Saat Demo Rusuh |
![]() |
---|
Pemprov Jateng Salurkan Bantuan Keuangan ke Pemkot Pekalongan Sebesar Rp 61 Miliar |
![]() |
---|
Kunjungi Pemkot Pekalongan, Gubernur Ahmad Luthfi Pastikan Pelayanan Publik Tetap Normal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.