Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Lifestyle

Anak Mudah Meniru Amarah Orang Dewasa? Begini 5 Saran Psikolog Cara Bijaknya

Baik disadari atau tidak oleh orangtunya, anak-anak mudah menangkap momentum kericuhan, kata-kata kasar, hingga perilaku tidak patut dicontoh.

Penulis: Dse | Editor: deni setiawan
FREEPIK VIA KOMPAS.COM
EMOSI ANAK - Ilustrasi seorang anak sedang termenung. Penting bagi para orangtua agar anak tidak mudah emosi, meniru amanah orang dewasa. Berikut tips triknya. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Selayaknya spons, setiap kata, sikap, dan ekspresi yang muncul di sekitar secara mudah terserap, lalu ditiru tanpa banyak dipilah.

Apa yang dilihat dan didengar anak-anak, kerap kali melekat begitu saja dalam ingatan mereka seakan tanpa ada jeda.

Coba kini bayangkan saat seorang anak sedang bermain di ruang tamu.

Dari televisi terdengar suara perdebatan politik yang panas, penuh teriakan dan saling menyalahkan.

Baca juga: Tips Lolos Bansos PENA, Bantuan Modal Usaha Rp6 Juta dari Kemensos

Baca juga: Tips Agar Anak Mau Mendengar Tanpa Membantah Orangtua, Cobalah Pakai 6 Kata Ajaib Ini

Sesaat kemudian, dia menoleh ke luar jendela.

Dia melihat dua orang dewasa sedang bertikai karena masalah sepele di jalanan.

Dari pandangan mata itu, dia belajar satu hal sederhana.

Marah adalah cara menghadapi perbedaan.

Terlebih di tengah situasi sosial-politik yang memanas beberapa hari terakhir ini.

Baik disadari atau tidak oleh orangtunya, anak-anak mudah menangkap momentum kericuhan, kata-kata kasar, hingga perilaku yang tidak patut dicontoh.

Fenomena seperti ini, menurut psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menjadi tantangan terbesar bagi orangtua.

Anak-anak bukan hanya penonton pasif, melainkan peniru ulung yang mengamati setiap detail.

Di sinilah orangtua memiliki peran penting untuk membantu anak menyikapi fenomena ini menggunakan cara yang sehat.

Nah, berikut ini beberapa cara mengajarkan anak agar tidak meniru amarah orang dewasa

Validasi perasaan anak terlebih dahulu

Menurut Vera, langkah pertama yang bisa dilakukan orangtua adalah memberi perhatian pada perasaan anak.

Misalnya ketika anak terlihat cemas setelah melihat keributan, orangtua bisa mengatakan kalimat yang menenangkan.

Semisal melalui pertanyaan "Kamu takut ya lihat orang marah-marah?”

Melalui validasi, anak merasa dipahami dan aman.

"Ini penting agar mereka mau terbuka,” kata Vera.

Baca juga: Tips Bangun Bisnis Ala Ko King, Gratiskan Belanjaan Konsumen dengan Tanda Tangannya

Baca juga: Peduli Kesehatan Mental, Wali Kota Respati Sebut Ada 60 Sarjana Psikolog Yang Mau Keliling Posyandu

Gunakan bahasa sederhana

Anak membutuhkan penjelasan yang sesuai dengan usianya.

Orangtua dapat menjelaskan bahwa kemarahan orang dewasa biasanya muncul karena perbedaan pendapat, tetapi cara marah yang kasar bukanlah contoh yang benar.

“Jelaskan dengan bahasa sederhana seperti, kadang orang dewasa marah karena berbeda pendapat, tapi bukan berarti cara marah seperti itu benar,” jelas Vera.

Tawarkan alternatif positif

Setelah itu, orangtua bisa menunjukkan cara lain yang lebih baik dalam menghadapi perbedaan.

Contohnya "Kalau berbeda pendapat, bisa bicara dengan tenang dan saling mendengar.”

Dengan begitu, anak belajar bahwa konflik tidak harus diselesaikan dengan teriakan atau kekerasan, tetapi bisa dengan komunikasi yang sehat.

Peran teladan orangtua sangat penting

Selain penjelasan verbal, anak juga belajar dari perilaku sehari-hari orangtua.

“Kalau orangtua mampu mengelola emosi dan memperlihatkan sikap tenang, anak akan meniru itu,” ujar Vera.

Menunjukkan perilaku ramah kepada orang lain, membantu tetangga yang kesulitan, atau tetap tenang ketika menghadapi masalah, akan menjadi contoh nyata bagi anak dalam mengelola perasaan.

Bekal penting untuk masa depan anak

Vera menegaskan, mengajarkan anak menghadapi konflik dengan tenang tidak hanya melindungi mereka dari perilaku agresif, tetapi juga membekali dengan keterampilan sosial yang penting untuk masa depan.

Anak yang terbiasa diajarkan empati dan kontrol diri akan lebih mudah menjalin hubungan sehat, dipercaya orang lain, dan mampu mengambil keputusan dengan bijak.

“Empati dan kemampuan mengelola konflik adalah bekal penting agar anak bisa bertumbuh menjadi individu yang peduli, rendah hati, dan bertanggung jawab,” kata Vera. (*)

Sumber Kompas.com

 

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved