Opini
Bukan Lagi Sembako, Tapi Bahan Nasi Goreng yang Pengaruhi Ekonomi Indonesia
Berikut opini Imam Hasan, Dosen Program Studi D-3 Akuntansi, Universitas Harkat Negeri Tegal.
Penulis: Laili Shofiyah | Editor: M Zainal Arifin
Oleh: Imam Hasan, Dosen Program Studi D-3 Akuntansi, Universitas Harkat Negeri
ISTILAH sembako (sembilan bahan pokok) selama ini melekat sebagai simbol kebutuhan dasar masyarakat. Ia dijadikan indikator oleh negara untuk menjaga stabilitas harga dan daya beli, sekaligus menjadi penanda kondisi ekonomi akar rumput. Tidak berlebihan jika berbagai kebijakan intervensi pasar seringkali berfokus pada distribusi dan harga sembako. Namun, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa peta konsumsi masyarakat Indonesia kini mengalami pergeseran yang menarik untuk dikaji lebih jauh.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Maret 2024 (terbaru) mencatat bahwa dari sekian banyak komoditas pangan, hanya ada empat bahan yang memiliki tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga mendekati 100 persen. Keempat bahan ini adalah beras, minyak goreng, garam, dan bawang merah yang secara kebetulan, merupakan bahan dasar untuk memasak nasi goreng.
Temuan ini memberi gambaran yang cukup mengejutkan: menu sederhana dan merakyat seperti nasi goreng justru mewakili struktur konsumsi yang paling luas di Indonesia. Dengan kata lain, bahan-bahan nasi goreng lebih mencerminkan denyut konsumsi nasional daripada sembako secara keseluruhan.
Dari sudut pandang keuangan makro, hal ini memiliki konsekuensi yang besar. Konsumsi rumah tangga saat ini menyumbang lebih dari 50 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Artinya, ketergantungan masyarakat terhadap empat bahan utama ini menjadikan harganya sangat sensitif terhadap inflasi.
Baca juga: Universitas Harkat Negeri Tegal Dorong Pelaku Usaha Tegal Kuasai Kecerdasan Buatan
Begitu satu komoditas mengalami gangguan pasokan atau kenaikan harga, efek domino terhadap daya beli, angka inflasi, bahkan stabilitas ekonomi nasional pun sangat mungkin terjadi. Dengan konsumsi yang begitu masif, bawang merah atau minyak goreng yang langka bukan lagi sekadar urusan dapur, tapi potensi krisis ekonomi mikro yang berdampak makro.
Di sinilah letak urgensi peran masyarakat. Kita sebagai warga negara perlu menyadari bahwa pola konsumsi rumah tangga tidak hanya berdampak pada anggaran pribadi, tetapi juga berkontribusi pada kestabilan ekonomi nasional. Sudah saatnya kita mulai mengatur ulang ketergantungan terhadap empat bahan tersebut. Bukan berarti berhenti mengonsumsinya, tapi mengedukasi diri untuk mengenali bahan substitusi, mencoba diversifikasi menu, dan mengatur anggaran belanja harian dengan lebih cermat.
Langkah mengenali bahan substitusi dan mencoba diversifikasi menu bukan hanya soal bertahan di tengah gejolak harga, melainkan bagian dari strategi adaptif dalam manajemen konsumsi rumah tangga. Ketika harga beras melambung, masyarakat bisa mempertimbangkan karbohidrat alternatif seperti jagung, singkong, atau sagu yang secara gizi tetap layak dan lebih stabil dari sisi pasokan.
Demikian pula saat minyak goreng langka, teknik memasak seperti merebus, memanggang, atau menumis dengan sedikit minyak bisa menjadi solusi. Dengan tidak terpaku pada satu jenis bahan atau menu, kita menciptakan fleksibilitas konsumsi yang mampu meredam tekanan inflasi dari sisi permintaan.
Lebih jauh, literasi keuangan rumah tangga harus diperkuat. Praktik sederhana seperti mencatat pengeluaran, menetapkan batas belanja mingguan, hingga menyisihkan dana darurat untuk kebutuhan pangan, akan sangat membantu keluarga menghadapi fluktuasi harga yang tidak terduga. Dalam perspektif keuangan, ini adalah bentuk literasi yang strategis karena stabilitas ekonomi makro sejatinya bermula dari kedisiplinan mikro di tingkat rumah tangga.
Ketika masyarakat mampu mengelola pola konsumsi secara rasional, maka guncangan ekonomi akibat kelangkaan komoditas bisa diredam secara kolektif. Dengan kata lain, menjaga pasokan dan kestabilan harga bahan nasi goreng bukan sekadar urusan domestik, tapi bagian dari upaya menjaga denyut ekonomi Indonesia itu sendiri. (*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.