Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Pakar IT Prof Ridwan Soroti Skandal Smanse Semarang: Konten Palsu Bisa Dibuat dalam Hitungan Menit

Aksi Chiko yang diduga membuat dan mengunggah lebih dari seribu konten palsu berjudul “Skandal Smanse” di media sosial X, menjadi sorotan

|
Istimewa
Dekan Fakultas Ilmu Komputer (FIKOM) Soegijapranata Catholic University (SCU), Prof. Dr. Ridwan Sanjaya, S.E., S.Kom., MS.IEC 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kasus pembuatan konten pornografi hasil rekayasa berbasis artificial intelligence (AI) yang menyeret nama alumni SMAN 11 Semarang, Chiko Radityatama Agung Putra, memicu keprihatinan banyak pihak.

Aksi Chiko yang diduga membuat dan mengunggah lebih dari seribu konten palsu berjudul “Skandal Smanse” di media sosial X, menjadi sorotan publik.

Di tengah ramainya perbincangan mengenai kasus ini, pakar IT sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Komputer (FIKOM) Soegijapranata Catholic University, Prof. Dr. Ridwan Sanjaya, S.E., S.Kom., MS.IEC, mengingatkan tentang bahaya penyalahgunaan teknologi AI yang semakin mudah diakses masyarakat.

Baca juga: Video Skandal Smanse Siswi SMAN 11 Semarang Berdurasi 16 Detik Beredar Viral, Cek Faktanya

Sosok Chiko Raditya, Mahasiswa Undip Semarang Tinggal di Asrama Polisi Ngaku Edit Video Siswi SMA 11

Ada-Ada Saja Tingkah Pencuri di Boyolali Ini: Kunci Mobil Polisi dari Dalam saat Tertangkap

Duel Maut Tewaskan Kakak Adik, Warga: Seandainya Senjata Itu Tak Dilempar

“Teknologi deepfake sebenarnya sudah lama dikenal, namun kemajuan kecerdasan buatan generatif menjadikannya jauh lebih mudah digunakan dan menghasilkan visual yang semakin realistis,” ujar Prof Ridwan, Rabu (15/10/2025).

Dengan bantuan perangkat lunak berbasis AI, kata dia, pelaku dapat mempelajari pola wajah seseorang dari sejumlah foto, lalu memanipulasinya menjadi gambar atau video yang menyerupai kenyataan.

Kini, konten palsu dapat dibuat hanya dalam hitungan menit tanpa memerlukan keahlian teknis yang tinggi.

Menurutnya, persoalan utama bukan pada kemampuan teknologinya, tetapi pada kurangnya kesadaran etika digital.

“Foto-foto pribadi yang tersebar di media sosial sering kali dimanfaatkan tanpa izin untuk membuat konten yang bersifat merendahkan dan melanggar privasi,” jelasnya.

Hasil manipulasi semacam itu bahkan tampak sangat meyakinkan karena perangkat lunak AI mampu menyesuaikan pencahayaan, ekspresi wajah, hingga gerak tubuh dengan presisi tinggi.

Secara teknis, mendeteksi hasil manipulasi seperti ini tidaklah mudah.

“Meskipun sering ditemukan kejanggalan pada foto atau video hasil AI, pemeriksaan manual banyak yang gagal membedakan antara foto asli dan hasil rekayasa,” imbuhnya.

Prof Ridwan menekankan pentingnya literasi digital untuk membangun kewaspadaan masyarakat terhadap penyalahgunaan teknologi.

“Literasi digital bukan hanya soal kemampuan menggunakan perangkat digital, tetapi juga pemahaman etika, keamanan data pribadi, serta kemampuan mengenali dan memverifikasi informasi digital,” terangnya.

Ia juga menilai lembaga pendidikan dan platform media sosial perlu berperan aktif dalam mengedukasi pengguna serta memperkuat mekanisme pelaporan dan deteksi konten manipulatif.

“Penyalahgunaan AI bukan sekadar isu teknologi, melainkan juga persoalan moral, sosial, dan hukum. Karena itu, kesadaran dan tanggung jawab digital menjadi kunci utama agar kemajuan AI tetap membawa manfaat bagi masyarakat, bukan sebaliknya,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved