Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

OPINI

Mencari Tutup Tumbu Jateng

Mencari Tutup Tumbu Jateng. Opini ditulis oleh Drs Rukma Setyabudi MM, Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah

Editor: iswidodo
tribunjateng/bram
Opini ditulis oleh Drs Rukma Setyabudi MM, Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah 

Opini ditulis oleh Drs Rukma Setyabudi MM, Ketua DPRD Provinsi Jawa Tengah

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Waktu serasa begitu cepat, tidak terasa Jawa Tengah harus menggelar Pilkada lagi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur periode 2018-2023. Rasanya belum lama kita memilih dan menyaksikan pelantikan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Wakil Gubernur Heru Sudjatmoko, namun tak lama lagi kita masuk tahap Pilkada. Bursa calon pun mulai ramai, bahkan DPD PDIP Jateng sudah menutup pendaftaran bakal calon yang akan disiapkan untuk diusulkan ke Dewan Pimpinan Pusat untuk ditetapkan siapa yang akan diusung nanti.

Siapapun calon yang akan berkompetisi, biar rakyat yang memutuskan. Namun sebagai warga sepatutnya kita perlu ikut merenungkan, apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh Jawa Tengah agar bisa menjadi provinsi yang benar-benar sejahtera, maju serta nyaman untuk ditempati dan dikunjungi? Dengan kata lain, pemimpin dengan program seperti apa yang sebenarnya dibutuhkan Jawa Tengah lima tahun ke depan?

Dalam setiap Pemilukada kita sudah hafal bahwa setiap kandidat pasti menjanjikan tercapainya kesejahteraan bagi warganya, karena kosa kata apapun yang diterakan dalam program pembangunan ujungnya adalah kesejahteraan dalam konteks jasmani dan rohani. Adil, beradab, aman dan damai secara sederhana bisa dikategorikan sebagai sejahtera secara rohani; sedangkan makmur, murah sandang pangan, tersedia papan yang memadai dan sehat bisa dikelompokkan sebagai sejahtera secara jasmani.

Persoalannya, kita sering mengabaikan pemahaman bahwa sejahtera itu relatif-komparatif; sesuatu yang sangat subyektif, sehingga hasil implementasi dari program yang dijanjikan sebagai upaya mewujud-nyatakan kesejahteraan justru menjadi bahan pro-kontra. Rentang waktu kampanaye yang cukup panjang pada pemilukada sekarang ini, yang tujuannya menjadi ajang pemahaman dan telaah paripurna atas program yang ditawarkan para kandidat sebagai pertimbangan masyarakat untuk memutuskan pilahannya, menjadi percuma.

Berbagai bentuk kampanye yang sifatnya interaktif dan dialogis, jika dimanfaatkan dengan benar, sebenarnya menjadi jembatan nyata antara proses demokrasi dengan terwujudnya kesejahteraan warga. Kesempatan dan momentum yang disediakan penyelenggaran pemilukada sebagai ruang untuk berinteraksi dengan kandidat, belum dimanfaatkan untuk ajang uji program yang terbuka dan bermanfaat.

Forum-forum seperti itu lebih banyak dipakai sebagai ajang provokasi, menjatuhkan kontestan lain atau sekedar menjadi ruang unjuk kehebatan berbicara dan berdebat; sehingga upaya untuk mengetahui lebih mendalam tentang apa detil program yang ditawarkan, apa goalnya, apa tolok ukur pencapaiannya, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan hasilnya, bagaimana tahapan dan cara melakukannya, tidak bisa diperoleh.

Beranjak dari kondisi seperti itu, penulis berpendapat ada 3 hal penting yang harus dilakukan oleh siapa saja yang ingin memimpin Jawa Tengah lima tahun ke depan dengan hasil yang baik.
Yang pertama adalah kemauan politik yang rasional dan terukur untuk bagaimana mengejar ketertinggalan dari Jawa Barat dan Jawa Timur sebagai sesama provinsi besar di Jawa. Hal itu penting karena secara psikologis orang tidak akan merasakan “pencapaian kesejahteraan”jika wilayah Jateng secara minimal kondisi makronya tidak bisa setara dengan dua provinsi tersebut. Artinya harus ada parameter sederhana untuk menguji siapa kandidat yang punya political will untuk melaksanakan hal ini sebagai prioritas untuk membawa ke kehidupan yang lebih baik bagi warga Jateng.

Yang kedua adalah bagaimana membangun Jawa Tengah secara merata di semua wilayah geografis yang ada. Dalam konteks ini kandidat selayaknya bisa memetakan sentra-sentra pertumbuhan yang ada, dan bagaimana memperlakukannya agar pergerakan ekonominya bisa mendukung pertumbuhan di wilayah sekitarnya. Katakanlah saat ini Jawa Tengah memiliki 6 atau 7 sentra pertumbuhan lengkap dengan daerah penyangganya, program spesifik seperti apa yang harus dilakukan agar terjadi perbaikan koneksitas yang memudahkan rantai pasok dan pengiriman surplus sehingga tercapai tingkat keekonomian yang ideal.

Tantangan ketiga yang harus menjadi komitmen siapapun yang akan menjadi pemimpin di Jateng adalah membuat pola pertumbuhan yang berkesinambungan. Ada yang menyebutnya pembangunan yang mengedepankan kelestarian alam dan lingkungan, sebagian memakai istilah go green biar keren. Tapi intinya adalah bagaimana mengembangkan potensi yang ada menjadi alat untuk mensejahterakan melalui sumber yang tidak sekali dikeruk lantas habis.

Pemahaman bahwa sumber daya alam boleh dieksplorasi tanpa memikirkan generasi berikutnya adalah suatu yang fatal. Kreativitas manusia menjadi terpinggirkan karena berhadapan dengan keserakahan dan pikiran pragmatis semata. Sudah saatnya kita menyepakati program pembangunan untuk Jateng dengan model pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dalam arti bagaimana mencapai pertumbuhan tinggi melalui pemanfaatan sumber daya yang bisa diperbaharui.

Rukma Setyabudi Ketua DPRD Jateng hadir di Tribun Jateng dalam Forum Diskusi di Kantor Redaksi Tribun Jateng, Rabu 22 Maret 2017
Rukma Setyabudi Ketua DPRD Jateng hadir di Tribun Jateng dalam Forum Diskusi di Kantor Redaksi Tribun Jateng, Rabu 22 Maret 2017 (tribunjateng/hermawan handaka)

Pomah dan Gagah

Program dan konsep yang ditawarkan para kandidat jelas sangat penting, tapi model kepemimpinan juga sama pentingnya. Program dan konsep serta model kepemimpinan ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan supaya ada nilai gunanya. Kita tentu berharap pemimpin Jawa Tengah memiliki karakter dan cara memimpin yang sesuai dengan budaya Jawa Tengah dalam upaya bersama mewujudkan Jateng Gayeng, Jateng Sejahtera dan Jateng yang Maju. Sudah banyak sekali model dan karakteristik kepemimpinan yang ada dan bertumbuh di lingkungan kita, semuanya lahir untuk memformulasikan secara sederhana agar menjadi lebih mudah dikomunikasikan serta dipahami oleh publik.

Dalam konsepsi Jawa ada Hasta Brata Pomah, beberapa Gubernur Jawa Tengah juga banyak membuat konsep sederhana untuk memudahkan komunikasi. Pak Ismail membahasakan dirinya sebagai “Lurahnya Jawa Tengah” dan konsep pembangunannya dilandasi Wawasan Jatidiri yang melahirkan banyak “emas” mulai emas hijau, emas hitam, emas kuning dan lainnya untuk mensejahterakan rakyatnya. Pak Bibit Waluyo punya slogan “Bali Desa Mbangun Desa”, dan pasangan Ganjar-Pranowo-Heru Sudjatmoko punya slogan “Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi”. Semuanya menarik dan menginspirasi selaras konteks zamannya.

Sekarang ini, dalam konteks di mana jenjang kepemimpinan di wilayah provinsi tidak lagi memiliki kendali penuh terhadap kabupaten/kota yang ada di wilayahnya setelah diberlakukannya otonomi daerah, terasa ada satu hal yang dibutuhkan dalam membangun Jateng, yakni peran Gubernur sebagai pengelola daerah otonom sekaligus peran kordinator 35 daerah otonom; dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Dualisme ini menuntut karakter seorang Gubernur menjadi lebih spesifik. Penulis mencoba memformulasikan kebutuhan karakter itu dalam dua kata yang diambil dari bahasa Jawa, yaitu Pomah dan Gagah.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved