Kurangi Polusi Udara, Wali Kota Semarang Ingin Perbaiki Fasilitas Umum dan Kurangi Kendaraan Pribadi
Dia ingin mengajak masyarakat agar membudayakan jalan kaki dan menggunakan transportasi umum.
Penulis: Alaqsha Gilang Imantara | Editor: suharno
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Alaqsha Gilang Imantara
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi mengatakan Kota Semarang sebagai kota ramah lingkungan diharapkan mampu memenuhi kota yang berkelanjutan.
Namun, ada satu indikator yang belum terpenuhi diantaranya mengurangi gas buang atau polusi udara.
"Kami akan mengurangi polusi udara dengan menambah dan memperbaiki fasilitas umum seperti BRT, LRT (tahun depan mulai pembangunan), menambah jalur Pedestrian, dan pohon-pohon yang sejuk," tuturnya di sela-sela kegiatan ICISPE Undip di Hotel Grand Candi Semarang pada Senin (22/10/2018).
Dia ingin mengajak masyarakat agar membudayakan jalan kaki dan menggunakan transportasi umum.
"BRT yang tadinya sumber bahan bakar menggubakan solar akan diganti memakai gas. BRT merk Toyama sejumlah 40 unit akan kita ubah, tahun depan akan diubah," bebernya.
Baca: Hendi Paparkan Tantangan yang Dihadapi Kota Semarang dalam Konfrensi ICISPE 2018
Menurut dia, tantangan terbesar kota Semarang dari sisi topografi. Daerah atas bisa dikembangkan menjadi tempat yang luar biasa.
"Jika tidak dikembangkan akan menjadi problem, kami coba atasi dengan pembuatan waduk di daerah atas. Kami juga mengcluster-clustee wilayah mana yang tidak boleh dibangun atau tetap dijaga daerah konservasi," bebernya.
Dia menambahkan, didaerah bawah akan dilakukan tanggul laut, dan penanaman mangrove.
Itu semua bisa dilakukan jika dikerjakan secara bersama-sama.
"Kota Semarang telah berusia 472 tahun. Dari sebuah wilayah kecil di daerah bergota berkembang menjadi 16 kecamatan,177 kelurahan, 2,5 juta penduduk pada siang hari dan 1,7 juta penduduk pada malam hari," tuturnya.
Dia menjelaskan, jika masyarakat tidak punya keterampilan dan modalnya hanya keberanian maka akan menjadi pengamen jalanan, begal, dan gelandangan.
"Setelah kita telusuri sebanyak 80 persen berasal dari luar daerah. Hal itu menjadi tantangan yang cukup berat," ungkapnya.
Dia menambahkan, mereka juga tidak punya saudara dan tempat tinggal.
Akhirnya, mereka memanfaatkan tanah kosong sebagai tempat tinggal sehingga menimbulkan kekumuhan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/paparkan-program_20181022_200809.jpg)