Community
Komunitas Buku untuk Papua Tak Lupakan Tanah Kelahiran
Komunitas itu lahir karena keprihatinan terhadap susahnya anak-anak Papua
Penulis: bakti buwono budiasto | Editor: agung yulianto
Berada jauh di tanah rantau, bukan berarti melupakan daerah asal. Justru, jauh dari tanah kelahiran memancing rasa ingin memajukan daerah.
SEPINTAS wajah Ikhsanti Syaafati (22) dan namanya tampak seperti orang Jawa pada umumnya. Namun, ketika berbicara bahasa Indonesia, logatnya terdengar khas dengan warga dari Indonesia Timur. Gadis berjilbab berkulit sawo matang itu berasal dari Sorong, Papua Barat.
"Bapak saya memang dari Semarang dan ibu dari Cepu. Tapi saya lahir di Sorong, Papua. Saat ini baru merantau untuk kuliah," kata mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip itu saat bertemu Tribun Jateng di kantor PT KAI Daop IV, Selasa (10/12/2013).
Ikatan yang begitu kuat dengan tanah kelahiran membuat Ikhsanti bergabung dalam komunitas Buku untuk Papua (BUP). Ia menemukan komunitas itu ketika berinteraksi dengan sesama mahasiswa Undip asal Papua. Ia bertekat, meskipun jauh, ia ingin memberi kontribusi dengan tanah kelahirannya.
Pertemuan dengan komunitas itu tidak sengaja. Suatu kali, ia berseluncur di internet. Mencari grup orang-orang asal Papua yang ada di Semarang. Lalu, secara tidak sengaja ia membaca artikel tentang Buku untuk Papua. Begitu membaca, Ikhsanti langsung tertarik. Apalagi pencetusnya warga Papua yang juga merantau, Dayu, yang tinggal di Jakarta.
"Komunitas itu lahir karena keprihatinan terhadap susahnya anak-anak Papua mengakses buku," jelas anggota BUP Semarang itu.
Keprihatinan yang sama juga dirasakannya dan teman-temannya di Semarang. Lalu pada 5 Oktober lalu, terbentuklah komunitas Buku untuk Papua (BUP) cabang Semarang. Jumlah anggotanya ada 18 orang. Selain Semarang, komunitas ini ada juga di Salatiga dan Yogyakarta.
Ke-18 anggota BUP Semarang itu langsung bergerilya mencari buku. Ada yang membeli, minta sumbangan teman dan berbagai cara lainnya. Semua buku yang terkumpul dikirimkan dengan cara tertentu. Pengumpulan bukunya adalah gabungan daerah operasi misalnya Salatiga, Semarang, dan Yogyakarta gabung jadi satu.
"Biasanya dititipkan kepada teman yang kebetulan pulang kampung. Lalu di sana ada sukarelawan yang menyebarkan buku. Kalau tidak, kami kirim lewat jasa kurir ke Papua, tapi sebelumnya kami harus mencari dana untuk mengirim buku. Terakhir, kami mengirimkannya ke Pegunungan Wamena," ucap perempuan yang tidak lancar berbahasa Jawa ini.
Dara kelahiran 6 Agustus 1991 di Sorong, Papua Barat itu bercerita minat baca di Papua memang kurang. Pemerintah daerah kurang memberi fasilitas warga Papua untuk membaca. Tidak hanya itu, harga buku di sana pun sangat mahal.
"Harga koran paling murah itu Rp 6.000. Misalnya lagi, kalau majalah Bobo di sini Rp 10 ribu, di Papua Rp 20 ribu," ucap sulung dari dua bersaudara itu.
Ketimpangan sosial sangat terasa saat ia kuliah di Semarang. Di Semarang, berbagai fasilitas mudah didapatkannya. Sedangkan di Papua masih banyak yang kurang. Ia teringat masa kecilnya di Bumi Cendrawasih itu.
Ia mengatakan, bukan berarti di tempat kelahirannya tidak ada toko buku. "Ada, tapi harga bukunya selangit. Koleksinya pun tidak selengkap di Jawa," paparnya.
Dalam mencari buku, Ikhsanti meminta baantuan donatur siapa saja. Tidak sembarang buku yang dikirim tetapi lebih bertema pendidikan. Setiap orang yang tertarik dengan kegiatan komunitas ini, Ikhsanti mempersilakannya untuk membuka laman www.bukuntukpapua.org. (Bakti Buwono)