RESENSI BUKU
Athirah, Garis Perempuan dalam Poligami
Menyerap apa yang dikisahkan dalam novel ini amatlah menarik.
TRIBUNJATENG.COM - Menyerap apa yang dikisahkan dalam novel ini amatlah menarik. Betapa perempuan sebenarnya memiliki energi terpendam yang mengagumkan. Di sebuah negara yang mayoritas penduduknya menganut sistem patrilineal, perempuan sering dianggap hanya sebagai warga nomor dua, kaum pelengkap, dan langkahnya terbatas hanya di dapur, kasur, dan sumur. Maka, membaca kisah perjalanan hidup Athirah ini, pandangan tersebut pasti akan segera tereliminasi.
Dominasi kaum lelaki sudah terbaca ketika Mak Kerra, ibunda Athirah, mengalami apa yang oleh adat dipandang sebagai buah kewajaran. Ia dipersunting oleh seorang kepala kampung yang berstatus sosial lebih tinggi dibanding ayahnya. Adat dan kebiasaan pun membelenggu.
Meski Kerra harus menghadapi penolakan dari tiga istri sang kepala kampung, namun pernikahan itu tetap terjadi juga. Para gadis akan menurut saja pada kehendak orangtua mereka. Pernikahan bukan termasuk dalam agenda kebebasan para gadis. Mereka tunduk pada nasib (halaman 35).
Melalui tangan Alberthiene, Jusuf Kalla menceritakan dengan detail perjuangan ibundanya sejak ketika ayahnya merintis usaha dagangnya di Bone hingga kemudian mampu melebarkan sayap di Makassar. Dari ketika Athirah melahirkan satu persatu anak-anak Kalla, ketabahannya membantu usaha dagang suaminya ketika Bone mengalami teror DI/TII, hingga kemudian terdengar kabar bahwa lelaki itu kemudian membuat sarang lain di lain tempat.
Setelah gagal menyadarkan suaminya, dan sadar bahwa ia harus menerima takdir dipoligami, Athirah mulai mengalami titik balik dari keterpurukannya sebagai perempuan. Tak lagi mau menggantungkan keadaan pada suami, akhirnya Athirah pun bergerak sendiri menggerakkan roda ekonomi keluarganya. Ia berusaha menyulap kepedihan yang dialami menjadi energi yang menakjubkan. Jusuf mencatat, ibundanya memulai perjuangannya dengan merintis usaha dagang kain tenun sutra khas Bone, yakni dengan mendatangi langsung ke para pengrajinnya di desa-desa dan menjadikan rumah mereka sebagai toko yang terbuka menerima kedatangan siapapun.
Jusuf mulai menyadari bahwa perempuan memiliki kekuatan yang mengagumkan ketika bisnis ayahnya mulai terempas badai krisis. Tahun 1965, ketika Indonesia mengalami inflasi besar-besaran, terbukti analisis dan ketajaman naluri bisnis Athirah mampu menyelamatkan keterpurukan bisnis suaminya (halaman 285).
Buku ini patut dimasukkan sebagai upaya memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan.
Menempatkan poligami sebagai musuh perempuan, meskipun agama memberi prasyarat yang harus dipenuhi kaum pria jika ingin mengambil jalan poligami. Melalui novel ini, kita akan mendapatkan cermin, betapa sebenarnya tak mudah, bahkan hampir mustahil kaum pria dapat memenuhi/menjalankan prasyarat tersebut. (*)