Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

SUCCESS STORY

Kiat Sukses Drs Frans SP Kelola OM Ken Arok Memasuki Usia 36 Tahun

Kiat Sukses Drs Frans SP Kelola OM Ken Arok Memasuki Usia 36 Tahun

Penulis: deni setiawan | Editor: iswidodo
TRIBUNJATENG/HERMAWAN HANDAKA
Kiat Sukses Drs Frans SP Kelola OM Ken Arok Memasuki Usia 36 Tahun. Foto owner OM Ken Arok, Drs Frans SP 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG- Nama OM Ken Arok bagi sebagian penikmat musik dangdut live tidak asing. Grup legendaris dari Kota Salatiga itu berhasil eksis hingga usianya kini memasuki 36 tahun. Bagaimana usaha dan kiat mereka tetap eksis di tengah gempuran hiburan modern yang terus berkembang? Berikut penuturan pemilik sekaligus pendiri OM Ken Arok, Drs Frans SP, kepada wartawan Tribun Jateng, Deni Setiawan dan Hermawan Handaka beberapa waktu lalu di Salatiga.

Apa rahasia Ken Arok tetap eksis di tengah dunia hiburan modern saat ini?
Ada banyak hal yang kami lakukan demi mempertahankan Orkes Melayu (OM) Ken Arok. Kami mencoba terus mengikuti perkembangan musik dangdut di Indonesia. Tidak hanya penyajian musik tetapi juga bagian lain, termasuk perlengkapan dan setting panggung.

Sejak Ken Arok dilahirkan pada 1979, kami memang ingin menyuguhkan hiburan musik dangdut modern. Itu sebabnya, musik yang kami suguhkan tidak pernah asal-asalan. Saya selalu menekankan penggarapan secara profesional, disiplin, dan jujur, mulai sebelum hingga sesudah acara. Saya tidak ingin, bisnis yang diawali dari nol ini hancur. Karena itu, saya rewel soal itu.

Prioritas kami, menerapkan prinsip bertahan. Bertahan melawan gempuran teknologi dan selalu mengikuti perkembangan musik di sini. Ungkapan mudahnya, menjadi grup top tidak terlalu diburu tetapi anjlok selalu dihindari. Sama seperti bisnis lain, sebagai bagian dari entertainment pun butuh dipercaya orang lain. Atas dasar itu, Ken Arok berusaha menjaga kepercayaan mereka, entah itu pihak penanggap --perorangan maupun perusahaan-- serta penikmat.

Mengapa Anda memilih aliran musik dangdut?
Semua berawal dari kebersamaan dengan teman-teman di bangku kuliah. Ketika itu, saya mengambil studi di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Kota Salatiga. Kami bertujuh, yang ketika itu saya memegang alat bass, mencoba menciptakan beberapa lagu yang kemudian dikirim ke perusahaan rekaman Yukawi Jakarta.
Pilihan kami jatuh pada dangdut, aliran musik khas Indonesia. Sebuah seni yang perlu dilestarikan. Suatu aliran yang tidak mengenal segmen. Siapapun bisa menikmati dan penggemarnya hingga kini pun luar biasa. Kami memang berkiblat pada grup Pantjaran Sinar Petromak (PSP).

Dan pilihan kami ternyata tepat. Tidak lama, kami berhasil memperoleh kontrak rekaman, yang nilainya mencapai Rp 5 juta di tahun 1979. Tidak tanggung-tanggung, kami dikontrak untuk dua album, yakni Ketemu Lagi dan Lagi-Lagi Ketemu. Itu menjadi tanda kelahiran OM Ken Arok.

Setelah dikontrak, kami mulai dikenal dan bersinar di dunia entertainment. Terutama, ketika dikontrak perusahaan rokok yang saat itu terbesar di Indonesia --PT Djarum-- untuk manggung dari satu daerah ke daerah lain.

Kami sempat dinamai Manusia Tobong. Tobong adalah istilah bangunan sementara di belakang panggung. Tetapi, kami tetap enjoy. Dampak positifnya, satu persatu alat musik dapat kami beli dan tidak perlu sewa lagi. Berkaca pada susahnya hidup saat itu, kami berkomitmen terus mengelola grup ini secara profesional. (tribunjateng/apa bedanya Ken Arok dibanding grup musik lain)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved