Kuliner Jawa Tengah
Sate Kebo Kudus Tak Sekadar Nikmat Tapi Juga Lambang Toleransi
Hampir di semua daerah, kuliner sate bisa ditemukan. Namun, sate kebo sudah menjadi ikon Kudus. Selain kuliner, sate ini juga lambang toleransi.
Penulis: yayan isro roziki | Editor: rika irawati
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Yayan Isro' Roziki
TRIBUNJATENG.COM - Kuliner jenis sate bisa ditemukan hampir di seluruh pelosok negeri ini. Namun, jika anda menyebut sate kebo, rasa-rasanya hanya bisa dijumpai di Kudus. Sate kebo memang menu favorit di Kota Kretek ini.
Terpesona oleh nikmatnya sate kebo, Dona Dwi Yuhanafi, rela datang jauh-jauh dari Sukabumi ke kabupaten terkecil di Jateng ini. "Tadi datang sekitar jam 06.00, hampir dua jam saya nongkrong di depan garasi bus PO Nusantara, nunggu warung ini buka," ujar Hanafi, usai melahap sate kebo favoritnya di warung Min Jastro, komplek Ruko Agus Salim Kudus.
Membakar sate di atas bara dalam waktu cukup membuat daging kerbau semakin matang. (tribun jateng/m syofri kurniawan)
Disampaikan, ia kenal sate kebo sekitar dua tahun lalu, dari teman komunitas busmania.com. "Setelah nyoba, langsung ketagihan," ucap karyawan swasta di Sukabumi ini.
Jika kebetulan melewati Kudus, cobalah singgah dan rasakan sensasi sate kebo. Dagingnya begitu terasa empuk di mulut. Rasa manis bumbu bacem, beradu aroma rempah yang cukup terasa serasa menggoyang lidah.
Warung sate kebo Min Jastro buka sejak 1950. Awalnya, Min Jastro keliling kota sembari memikul dagangannya untuk menjajakan sate kebo. "Dulu, mbah saya keliling mulai pukul 06.00, dan biasanya pukul 08.00 sudah habis. Waktu masih keliling, nasinya dibungkus pakai daun jati," ucap Sunoto, generasi ketiga yang saat ini mengelola warung Min Jastro.
Selanjutnya, pada era 1980 Min Jastro membuka lapak di depan garasi bus PO Nusantara. Pada 2005, saat komplek Ruko Agus Salim sudah selesai di bangun, warung dipindah lagi ke tempat sekarang.
Di Kudus, sate kebo tak sekadar kuliner lezat. Makanan ini juga menjadi simbol toleransi umat beragama. Saat menyebarkan agama Islam di wilayah ini, Sunan Kudus melarang pengikutnya mengonsumsi daging sapi yang dianggap suci oleh umat Hindu, agama mayoritas di Kudus saat itu. Larangan ini masih dijaga dan dipegang umat Islam di Kudus meski perdagangan daging sapi di wilayah ini sudah dilakukan.
Setelah dibakar, sate dihidangkan beralaskan daun pisang. (tribun jateng/m syofri kurniawan)
Diceritakan Sunoto, untuk mengolah daging kebo menjadi sate yang lezat, diperlukan proses yang cukup panjang. Awalnya, pilih daging kebo yang lunak. Kemudian, sayat untuk memisahkan daging dan urat. Tahap selanjutnya, daging diiris dan digecek (ditumbuk, red).
"Seteleh digecek, diiris lagi menjadi bagian lebih kecil," kata suami dari Dewi Ristiana ini.
Kemudian, lanjut Sunoto, daging direndam dalam bumbu baceman selama kurang lebih dua jam. "Tujuannya, bumbu benar-benar meresap. Setleah itu, baru ditusuk di tusukan sate," ujar dia.
Semua proses tersebut dilakukan Sunoto di rumah. Sesampainya di warung, sate kebo siap dibakar sesuai pesanan. "Untuk sate daging, bisa tahan dua hari. Jika disimpan di lemari pendingin bisa tahan lebih lama lagi. Sama sekali kami tidak menggunakan pengawet," jelas Sunoto.
Selain sate daging, terdapat bagian lain sebagai variasi. Semisal, sate koyor, lidah, hati, babat, dan usus. "Urat yang dipisahkan tadi jadi koyor. Kalau urat perlu direbus sekitar empat sampai lima jam agar menjadi lunak. Justru karena direbus itu sate koyor tidak awet, cuma bisa bertahan sehari," papa dia.