Succses Story
Pernah Jadi Sales Sembako
Kerap menjuarai banyak lomba tata rias dan rambut hingga tingkat Asia Pasifik membuat nama Ave Sanjaya disegani di bidangnya.
Penulis: hermawan Endra | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM -- Kerap menjuarai banyak lomba tata rias dan rambut hingga tingkat Asia Pasifik membuat nama Ave Sanjaya disegani di bidangnya. Karya Ave dikenal dengan kekuatan konsep, tampilan 'total look' yang matang, dan didukung tim artistik yang kreatif dan inovatif.
Berikut penuturan Chan Ave Sanjaya Tio, pendiri dan pemilik 'Ave Hair and Beauty Salon' di bisnis kecantikan kepada wartawan Tribun Jateng, Hermawan Endra, beberapa waktu lalu, di kantornya, Jalan Erlangga Barat VI/10, Semarang.
Bagaimana awalnya Anda menggeluti bidang salon kecantikan?
Berawal saat masa kecil saya di Surabaya, pada 1968 ada seorang tetangga ahli rambut yang cukup terkenal. Setiap pulang selalu membawa pekerjaan rumah berupa pesanan wig atau rambut palsu. Saya melihat semua proses, mulai dari menyisir, mencuci, mengerol, dan mengecat hingga menjadi rambut yang bagus.
Setelah itu?
SMA kelas 1 saya memutuskan keluar dan tidak menamatkan pendidikan. Saya tidak mau meneruskan sekolah, karena ayah meninggal dan ibu hanya sebagai ibu rumah tangga biasa yang tidak tidak punya usaha lain.
Saya memutuskan pindah ke Kota Semarang bersama kakak yang ingin membantu si adik bungsu. Saya tidak ingin terlalu membebani ibu yang single parent. Awal di Semarang, saya bekerja di toko sembako selama dua tahun sebagai sales.
Suatu saat, di rumah kakak saya terdapat dua wig yang bentuknya sudah jelek. Berbekal pengetahuin melihat tetangga ahli rambut di Surabaya, saya mencoba memperbaikinya. Meniru persis apa yang dilakukannya dulu. Akhirnya jadi bagus dan membuat kakak saya kagum.
Kakak saya menjadi sorotan saat memakai wig itu, hingga pada 1976 ada seorang pemilik salon yang merupakan family dari kakak saya menawarkan pekerjaan kepada saya sebagai hair dresser.
Awalnya saya menolak karena merasa salon miliknya untuk wanita. Pertimbangan lain saat itu adalah pekerjaan sebagai tukang sembako sudah cukup nyaman. Tawaran itu diberikan terus sampai tiga bulan, hingga akhirnya saya dijanjikan bayaran dua kali lipat dari pekerjaan sebagai sales. Saya pun kemudian mengiyakan.
Bagaimana pengalaman pertama bekerja di salon?
Karena hanya mengerti tata rias rambut dan tidak memiliki pengetahuan potong rambut, saya pun dilatih anak pemilik salon yang kebetulan ingin mengundurkan diri bekerja. Ilmunya diberikan kepada saya.
Jika biasanya orang latihan potong rambut selama enam bulan, saya cuma tiga minggu sudah bisa. Setelah saya masuk, salon yang awalnya berisi wanita itupun mulai diminati kaum laki-laki.
Dua bulan bekerja, saya bisa membeli sepeda motor. Pendapatan saat itu lumayan besar, karena saya mendapat bagi hasil sebesar 40 persen untuk setiap orang potong rambut. Salon itu makin ramai, dengan beberapa pejabat pemerintahan setempat pun menjadi pelanggan setia.
Selanjutnya?
Setelah 2,5 tahun bekerja di salon itu, saya kemudian menikah. Istri menerima dan mendukung pekerjaan sebagai hair dresser. Bahkan dari dialah saya memulai berwirausaha membuka salon sendiri di Jalan Jendral Sudirman, Kudus, memanfaatkan lahan bekas pabrik rokok yang tidak terpakai.Uji coba pertama ukuran 2 ruko.
Pada 1978, awal membuka AVE Salon hanya diisi lima kursi dan satu pegawai. Jumlah itu jauh dengan kondisi sekarang sebanyak 96 karyawan dan tiga salon. Di Kudus, strategi yang saya lakukan adalah mengadopsi salon laiknya di Kota Semarang.
Memberi pendingin ruangan, tampilan modern, dan satu-satunya salon yang jika potong rambut harus dishampo dulu, atau nama lainnya 'potong basah' dan setelah digunting rambut harus di-blowdry. Saat itu, dalam sehari saya bisa memotong rambut 20 orang. Setahun berada di Kudus, saya bisa menyelenggarakan show tunggal.
Bagaimana awal melirik hairdresser dan makeup artis?
Saudara ada yang mau menikah, tapi maunya di-makeup AVE. Saya bingung karena nggak punya kemampuan tata rias wajah. Istri mendorong saya untuk belajar karena melihat kegemaran saya melukis.
Saya kemudian belajar di Salon Juliet di Surabaya. Mahal banget biayanya, kalau sekarang setara Rp 60 juta selama enam bulan dipercepat jadi dua bulan. Setelah itu akhirnya mulai membuka tarif rias wajah.