Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Perlu Anda Tahu: Makna dan Filosofi Caping Petani

Dia menyampaikan, bentuk gunung seperti caping yang biasa digunakan petani. Selain untuk melindungi diri dari panas, caping juga bisa diartikan

Penulis: achiar m permana | Editor: Catur waskito Edy
tribunjateng/suharno
Ibu Negara Iriana Jokowi Pakai Caping Gunung Tampak Anggun, saat dampingi Presiden di Sukoharjo (31/1/2105) 

Warga lereng Gunung Ungaran memiliki kearifan lokal untuk berterima kasih kepada alam. Wujudnya berupa tradisi iriban atau susuk wangan. Tradisi apakah itu?

YUNDRA Karina terlihat begitu bersemangat untuk datang ke Desa Gondang, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jumat (19/2) pekan lalu. Mahasiswi Jurusan Pendidikan Administrasi Perkantoran, Universitas Negeri Semarang (Unnes), itu ingin menyaksikan tradisi Grebeg Alas Susuk Wangan, yang belum pernah dilihatnya.
Sekira pukul 07.00, dia telah bersiap berangkat dari daerah Gunungpati, sekitar kampusnya.

Mahasiswi yang baru saja meluncurkan novel Yuna dan Juna itu berangkat berombongan, bersama kawan-kawannya. Setelah menempuh sejam perjalanan, sampailah Yundra dkk di Desa Wisata Gondang, yang terletak di lereng Gunung Ungaran, berbatasan langsung dengan Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang.

Nyaris tanpa rehat, Yundra dkk langsung menuju ke Wangan Tukung, Dusun Penggik, Desa Gondang, untuk mengikuti iriban atau susuk wangan. Iriban itu merupakan tradisi bersih-bersih sungai, atau tepatnya hulu sungai. Biasanya, dalam rangkaian iriban atau susuk wangan, warga menggelar selamatan di hulu sungai dengan sajian berbahan sayur-sayuran dari hutan yang dimasak dengan cara dilemang atau dibakar dalam ruas bambu.

Perjalanan menuju Wangan Tukung sebenarnya tidak menempuh jarak yang terlampau jauh. Namun, medan yang ekstrem, bahkan ada yang tingkat kecuramannya mencapai lebih dari 60 derajat, cukup menguras energi. Sekira setengah jam, sampailah mereka di Wangan Tukung, hulu sungai yang mengairi sawah-sawah warga Gondang.

Di tempat itu, warga telah berkumpul. Sebagian mereka membersihkan sungai atau tebing-tebing sekitarnya. Sebagian lainnya menyiapkan "sesaji" untuk selamatan, atau tepatnya makan bersama, dalam rangkaian susuk wangan tersebut.

Ada warga yang membakar ayam, ada pula yang membersihkan daun code--daun dari tumbuhan liar di sekitar sungai--sebagai bahan gudangan. Daun code itu kemudian dilemang, mirip dengan membikin lemang di sejumlah daerah Melayu, yakni dimasukkan batang bambu kemudian dibakar.

Setelah semua selesai, sayur itu dicampur dengan bumbu gudangan yang dibawa dari rumah. Selanjutnya, semua bahan plus nasi tumpeng, yang juga disiapkan warga, disajikan di atas daun pisang yang ditata berjajar di atas pelataran di dekat hulu sungai itu. Ketika prosesi berakhir, Yundra pun turut menikmati hidangan itu dengan lahap.

"Tradisi susuk wangan ini telah ada sejak zaman leluhur kami di Desa Gondang. Tradisi ini merupakan wujud kearifan lokal untuk mempertahankan mata air," kata Yudhi Siswanto, kepala Desa Gondang.

Iriban atau susuk wangan, kata Yudhi, merupakan tradisi yang lazim bagi warga di sekitar lereng Gunung Ungaran. "Namun, secara khusus, kami ingin menambahkan hal positif lain dalam tradisi ini, yakni dengan menanam pohon. Penanaman pohon ini merupakan bagian dari wujud terima kasih kami kepada alam, sekaligus menjaga agar alam yang memberikan air kepada kita tetap lestari," imbuhnya.

Benar juga, selain susuk wangan pada Jumat pagi, Yudhi menggerakkan warga desa-desa sekitar untuk turut bersama-sama menanami lereng Gunung Ungaran.

Pada hari berikutnya, Sabtu (20/2), warga menanam 10 ribu bibit pohon di lereng Ungaran. Selain warga Gondang, penanaman pohon juga melibatkan warga desa-desa lain di lereng Ungaran, termasuk yang secara administratif masuk Kabupaten Semarang.

"Ada 18 desa yang berbatasan langsung dengan hutan Gunung Ungaran. Kalau kita tidak merawat hutan di sini, maka bisa berakibat fatal, termasuk di dalamnya kemungkinan kekurangan air untuk mengairi sawah," kata Yudhi.
Ia menjelaskan, perlu adanya kesadaran dari semua pihak, terutama masyarakat sekitar hutan agar tidak merusak hutan.

"Kami juga meminta kepada Pemerintah Kabupaten Kendal, Perhutani, dan lainnya untuk bisa membantu menjaga kelestarian hutan ini. Kami ingin anak cucu kami masih bisa melihat hutan mereka," tambahnya.

Dalam rangkaian Grebeg Alas Susuk Wangan itu, digelar pula diskusi yang menghadirkan sejumlah tokoh. Dalam diskusi di Lapangan Nambangan, Gondang, KH Budi Harjono, pengasuh Pesantren Al Islah, Meteseh, Tembalang, Kota Semarang, menyampaikan, apabila hutan gunung itu rusak, kehidupan dan peradaban sekitarnya akan musnah.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved