Mengintip Kampung Celana Dalam Di Klaten
Mengintip Kampung Celana Dalam Di Klaten
TRIBUNJATENG.COM - Berawal dari kesulitan, warga sebuah dusun di Klaten mampu mengubahnya menjadi berkah. Inovasi pengusaha konveksi yang kemudian mengambil spesialisasi usaha, akhirnya sukses menembus persaingan pasar.
Mulanya tak ada yang spesial dari pekerjaan warga di Dukuh Tempursari, Desa Tempursari, Kecamatan Ngawen-Klaten, Jateng. Mereka menggeluti usaha konveksi, dengan memproduksi kaus, seragam olahraga atau sekadar nyablon. Namun pergolakan bisnis menuntut kreativitas yang akhirnya menahbiskan wilayah tersebut sebagai Kampung CD (Celana Dalam).
Tak berlebihan kiranya status itu disandang oleh kampung yang sebagian besar warganya bekerja sebagai pembuat berbagai rupa "jeroan" tersebut. Mulai dari celana dalam untuk balita, pria, wanita, under rok, celana mambo, segitiga dan miniset diproduksi dalam skala rumahan.
Munir (60) seorang perajin senior mengungkapkan, usahanya ini bermula dari sebuah industri konveksi rumahan biasa. Dikatakannya, ia mewarisi segala keahlian dari orangtuanya.
"Dulu orang tua saya menggeluti usaha konveksi. Saya sering disuruh mengerjakan ini dan itu yang berhubungan dengan bisnis tersebut. Mulanya saya tak tahu kegunaannya, namun setelah menikah, ternyata hal itu menjadi keahlian tersendiri, sehingga bisa membuka usaha," ujarnya, Sabtu (27/2).
Dari situ ia terus memperkaya kemampuannya dengan magang di beberapa usaha konveksi milik tetangganya. Setelah terampil, ia kemudian memanfaatkan satu mesin jahit yang dimilikinya untuk berusaha.
Pesanan silih berganti, sampai ia pun bisa membeli beberapa mesin jahit dan merekrut pekerja. "Ada yang pesan kaus partai, kaus olahraga dan sebagainya. Semua itu turut membesarkan usaha saya. Namun ketika pesanan mulai berkurang, tumbuh pikiran untuk membuat jenis pakaian yang dibutuhkan orang setiap waktu. Saat itulah terpikir membuat celana dalam. Coba dipikirkan, siapa sih yang tidak butuh hal itu. Kalau boleh dibilang, dusun ini memang pembuat CD, dari laki-laki, perempuan hingga balita," kenang Munir.
Sejak tahun 1990 an, ia mulai fokus dengan pembuatan berbagai jenis celana dalam. Namun demikian, jika ada pesanan untuk mengerjakan jenis pakaian lain ia tak menolak. Menurutnya, di dusun itu ada puluhan hingga ratusan perajin cd. Di Koperasi dusun itu, setidaknya ada 85 anggota yang bergerak di bidang pembuatan pakaian dalam.
Perajin CD lain, Fakhrudin mengatakan hal serupa. Menurutnya, usaha pembuatan pakaian dalam di dusunnya itu telah dimulai turun temurun. Hal itu dimulai dengan pembuatan BH khas wanita Jawa kala. "Seingat saya sebelum saya lahir di tahun 1967, sudah ada usaha seperti ini," ucapnya.
Dirinya mengutarakan memulai bisnis pada tahun 1996, ia langsung terjun menggeluti konveksi pakaian dalam. Dari modal yang tak begitu besar, dirinya dapat mengembangkan usaha hingga kini mencapai omzet perbulan mencapai Rp 10 juta.
Produknya bahkan telah sampai hingga keluar Klaten, meliputi Pasar Johar Semarang, Ungaran, Salatiga, Magelang, Prambanan, Yogyakarta hingga Purworejo. Untuk harga produk, ia jual bervariasi sesuai dengan bahan dan kualitas. Satu dozen (12) buah dijual dengan harga mulai belasan ribu rupiah.
"Mulai Rp 10 ribu per dozen. Kalau celana dalam ya sampai Rp 23 ribu per dua belas buah. Kalau untuk produksinya kira-kira 100 dozen perminggu untuk enam produk, mulai dari cd wanita, celana bayi dan sebagainya," ungkap Udin, panggilan Fakhrudin.
Eksodus pekerja
Meskipun menyokong perekonomian desa, akhir-akhir ini perajin mengaku kekurangan pekerja trampil. Hal itu seiring berdirinya perusahaan garmen skala besar yang menyedot banyak karwayan. Tercatat, lima tahun belakangan banyak dari pekerja usia muda yang telah hengkang menuju perusahaan besar.
Ihwal tersebut diungkapkan Fakhrudin dan Munir. Menurutnya, banyak di antara pekerja trampil merupakan anak muda. Sehingga, kebanyakan warga yang masih mau bekerja di usaha pembuatan cd telah berusia paruh baya.
"Kebanyakan yang bekerja ditempat saya rata-rata sudah ibu-ibu. Yang muda bekerja di pabrik," tuturnya.
Menurutnya, pekerja muda awalnya bekerja di sektor rumahan. Namun begitu terampil, mereka pun pindah ke pabrik garmen yang lebih besar seiring pembukaan perusahaan yang marak. Hal itu kontan memengaruhi proses produksi celana dalam. Bahkan perajin pun harus rela menitipkan mesin jahitnya ke beberapa orang. Hal itu untuk menyiasati keterbatasan pekerja.
"Jadi pengusaha harus menitipkan mesinnya ke pekerja yang kini bekerja di rumah. Nanti bahannya diantarkan ke pekerja, setelah selesai baru diserahkan ke tempat juragan untuk dipasarkan," jelas Udin.
Munir berharap agar pemerintah menyediakan lebih banyak tenaga terampil. Hal itu bisa dilakukan dengan pengoptimalan lembaga pengajaran ketrampilan yang saat ini ada. Dikatakannya, ia kini memiliki 30 karyawan, dimana sebelumnya dirinya sempat mempunyai 50 pegawai. (Tribunjogja/Padhang Pranoto)