Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Peringatan Umar Patek: Abu Sayyaf Biasa Bunuh Sandera Lalu Mengunggah di Internet

Umar Patek mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak menganggap remeh batas waktu yang diberikan kelompok Abu Sayyaf terhadap sandera 10 WNI.

Editor: tri_mulyono
SURYA.CO.ID
Umar Patek (tengah) 

TRIBUNJATENG.COM - Umar Patek mengingatkan pemerintah Indonesia agar tidak menganggap remeh batas waktu yang diberikan kelompok Abu Sayyaf terhadap sandera 10 WNI.

Kini, Abu Sayyaf telah memberikan batas waktu kedua, yaitu 8 April, untuk memberikan uang tebusan 50 juta peso (Rp 14,3 miliar).

"Mereka melihat keseriusan tahap negosiasi dalam memberikan batas waktu. Apabila hingga batas waktu kedua belum ada langkah nyata untuk penebusan, jelang batas waktu ketiga mereka akan membunuh sandera," ujarnya.

Pembunuhan itu biasanya akan diunggah ke internet.

Umar menjalani pidana 20 tahun penjara karena terlibat peristiwa bom Bali I tahun 2002 di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Porong, Sidoarjo Jawa Timur. Ia pernah bergabung kelompok Abu Sayyaf pascaserangan bom Bali.

Kini, dia menjadi salah satu narapidana terorisme yang dapat dideradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Dalam artikel "Radical Muslim Terrorism in Philippines" karya Rommel C Banlaoi yang terdapat dalam A Handbook of Terrorism and Insurgency in Southeast Asia (2009) terungkap bahwa upaya penyanderaan di wilayah laut dengan mematok tebusan jamak terjadi setelah Abu Sayyaf dipimpin Khadaffy Janjalani sejak 1998.

Hal itu disebabkan kurangnya ideologi dan kemampuan kepemimpinan Khadaffy. Ia menggantikan kakaknya yang tewas dalam serangan militer dan polisi Filipina, yaitu Abdurajak Abubakar Janjalani pada Desember 1998.

Menurut Umar, di masa kepemimpinan Abdurajak, Abu Sayyaf mendapat pasokan dana dari Al Qaeda untuk pemenuhan logistik perang.

Namun, setelah ketiadaan Abdurajak, bantuan itu menghilang. Pembajakan dan penyanderaan dipertahankan oleh amir (pimpinan) Abu Sayyaf selanjutnya, seperti Albader (2006-2010) dan Radullan Sahiron (2010-kini).

Abu Sayyaf terdiri dari beberapa majmu'ah (kelompok) yang memiliki kebijakan tersendiri. Meskipun Radullan menjadi pimpinan secara umum, setiap kelompok memiliki pemimpin, salah satunya Al-Habsi dan Jim.

"Penyanderaan itu murni untuk memenuhi kebutuhan logistik setiap kelompok, seperti membeli senjata dan amunisi. Mereka memiliki selera tinggi untuk senjata, sebab hanya ingin senjata buatan Amerika Serikat dan menolak (senjata) buatan Filipina," katanya.

Dilema

Ia menyatakan, upaya pembebasan sandera selalu menyebabkan dilema bagi keluarga korban dan pemerintah.

Korban ingin tebusan diberikan dengan alasan keselamatan, sedangkan pemerintah sebuah negara pasti ingin menjaga harga diri bangsa sehingga menyiapkan serangan militer.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved