Ngopi Pagi
Genger Genger
Sebatas pertimbangan seni, dalam hal ini seni musik, lagu Genjer-genjer berbahasa Kamboja itu telah mendunia dengan penilaian beragam dari para netize
Penulis: sujarwo | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM -- Dengue Fever, sebuah band asal Los Angeles, memlilih lagu asal Indonesia dalam salah satu albumnya. Lagu itu diberi judul Genger Genger, dilantunkan oleh Chhom Nimol, vokalis cantik band tersebut, dengan bahasa Kamboja pada 2010. Lagu tersebut tak lain adalah Genjer-genjer yang sempat dilarang pada zaman orde baru.
Sedikit tentang Dengeu Fever -- arti harafiahnya demam berdarah-- merupakan band yang didirikan Ethan Holtzman dan saudaranya Zac, setelah Ethan terinspirasi oleh perjalanan ke Kamboja. Dua saudara itu pun menemukan penyanyi berbakat asal Kamboja, Chhom Nimol. Akhirnya, pada 2001, band terbentuk yang menggabungkan musik pop Kamboja berikut liriknya dan psychedelic rock.
Lagu Genger Genger juga diunggah di YouTube, dan mendapat ratusan jempol. Tetapi, tak sedikit pula komentar miring sebatas karena mengacu pada politik. Komentar yang dikait-kaitkan dengan PKI, partai terlarang di Indonesia.
Maklum, pada 1959-1966, Partai Komunis Indonesia (PKI) menggunakan lagu Genjer-genjer untuk propaganda. Lagu yang menggambarkan penderitaan warga desa itu dinyanyikan pada berbagai kesempatan. Akibatnya orang mulai mengasosiasikan genjer-genjer sebagai "lagu PKI".
Genjer sendiri adalah sejenis tumbuhan rawa yang banyak dijumpai di sawah atau perairan dangkal. Biasanya ditemukan bersama-sama dengan eceng gondok. Genjer adalah sumber sayuran "orang miskin", yang dimakan orang desa apabila tidak ada sayuran lain yang dapat dipanen. Inilah yang menginspirasi seniman asal Banyuwangi, Muhammad Arief , mencipta lagu yang akhirnya diberi judul Genjer-genjer.
Lagu yang diciptakan M Arief pada tahun 1940-an itu diangkat dari lagu dolanan yang berjudul “Tong Alak Gentak”. Syair lagu Genjer-genjer dimaksudkan sebagai sindiran atas masa pendudukan Jepang ke Indonesia. Saat itu, kondisi rakyat makin sesangsara dibanding sebelumnya. Menjadi populer, setelah lagu itu banyak dibawakan penyanyi-penyanyi dan disiarkan di radio Indonesia. Penyanyi kondang yang melantunkan lagu itu, di antaranya Lilis Suryani dan Bing Slamet.
Sebatas pertimbangan seni, dalam hal ini seni musik, lagu Genjer-genjer berbahasa Kamboja itu telah mendunia dengan penilaian beragam dari para netizen. Dalam kacamata sosial, lagu itu bisa dipahami sebatas mengingat atau peduli warga desa terkini yang masih terbelenggu kemiskinan. Tanpa harus mengacu pada politik, apalagi mengkait-kaitkan dengan masa sejarah kelam (1960-an) bangsa ini.
Toh, itu bukan hal mudah. Seperti heboh palu arit ramai diributkan pengguna media sosial sejak akhir pekan lalu, dan telah digunakan 23.000 kali di Twitter sejak Minggu (8/5/2016). Ada banyak pro kontra di dalamnya terutama terkait tindakan polisi yang menangkap orang-orang yang dianggap menggunakan atribut PKI. Satu pengguna misalnya mengatakan pengguna atribut harus ditindak tegas. Lainnya mengatakan, "kalau kita ketakutan dengan bendera ISIS, lalu apa justifikasinya menertawakan yang takut terhadap bendera Palu Arit?”
Saras Dewi, dosen filsafat di Universitas Indonesia, seperti dikutip BBC Indonesia, menganggap bahwa ketakutan terhadap palu arit adalah sebuah "ketakutan yang datang dari banyak ketidaktahuan." Ya, bangsa ini memang perlu banyak tahu sejarahnya sendiri sehingga makin menjadi bangsa dewasa. Bangsa yang tidak mudah takut karena terus berusaha konsisten dan gigih dalam memberantas kemiskinan. (*)