Kisah Pilu Pemerkosaan Sum yang Melegenda, Ia Diculik, Digilir Anak Pejabat, Lalu Jadi Tersangka
Hari itu yang menurut penanggalan jawa adalah Senin Pahing, Sum Kuning selesai menjajakan telur ke sejumlah pelanggannya dan bergegas untuk pulang
TRIBUNJATENG.COM - Kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan yang akhir-akhir ini mencuat termasuk di Yogyakarta bukanlah kasus baru.
Menengok ke belakang, kasus pemerkosaan sebenarnya sudah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu.
Salah satu kasus yang menggemparkan adalah kasus Sum Kuning.
(Baca juga: Heboh, Presenter TV di China Ini Wajahnya Mirip Presiden Jokowi, Bagaimana Menurutmu?)
Kasus ini terjadi pada Senin, 21 September 1970, dimana Sum Kuning yang memiliki nama asli Sumarijem diculik dan kemudian diperkosa oleh sekelompok pemuda yang diketahui merupakan anak-anak dari orang berpengaruh di Yogya.
Kasus ini menjadi legenda lantaran Sum Kuning yang menjadi korban justru dikriminalisasi dan dijadikan tersangka.
Pipin Jamson dari Komite Perjuangan Perempuan Yogyakarta mengatakan, kasus Sum Kuning menjadi salah satu bukti sejarah panjang kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
Kasus tersebut menjadi bukti bahwa sejak lama perempuan menjadi obyek kekerasan dan bisa terjadi kepada siapa saja.
"Melihat masyarakat sekarang ini juga harus melihat dari akar sejarahnya. Flashback ke belakang, di saat pendudukan Jepang, kasus Sum Kuning. Sejarah panjang penggunaan kekerasan sudah terjadi dengan Jugun Ianfu (masa penjajahan jepang) mereka memperlakukan perempuan sebagai objek seksual," jelasnya kepada Tribun Jogja.
Kasus Sum Kuning menurutnya juga mampu merefleksikan bagaimana korban kekerasan seksual menjadi pihak yang dilema untuk memperjuangkan keadilan.
Stigma negatif terhadap korban-korban kekerasan seksual membuat korban terkadang lebih memilih diam dan tidak melaporkan apa yang mereka alami.
Sum kuning
Pada Senin, 21 September 1970, Sumarijem hendak pulang setelah selesai berjualan telor di sekitaran Pasar Beringharjo. Perempuan berusia 17 tahun ini memiliki kulit kuning bersih.
Dari itulah namanya kemudian lebih dikenal dengan Sum Kuning. Kisah Sum Kuning ini dipaparkan dalam buku "Sum Kuning Korban Penculikan Pemerkosaan" yang yang disusun oleh Kamadjaja dkk dan diterbitkan pada 1971.
Hari itu yang menurut penanggalan jawa adalah Senin Pahing, Sum Kuning selesai menjajakan telur ke sejumlah pelanggannya dan bergegas untuk pulang.
Lantaran hari juga sudah menginjak sore, Sumarijem berjalan dari Jalan Patuk menuju ke Jalan Ngupasan untuk mendapatkan bus jurusan Jogja-Ngijon.
Kala itu tercatat, Sum Kuning memiliki rumah di Jetak, Godean, Kabupaten Sleman. Dituliskan Kamadjaja dalam bukunya, awal mula peristiwa terjadi saat Sum Kuning berada di sebelah timur asrama polisi Patuk.
Di tempat itu, ia terkejut dan hampir menjerit, saat ada sebuah mobil yang hampir saja menabraknya.
Berhenti tepat di tempat Sum Kuning berjalan, sejumlah pemuda berambut gondrong turun dari mobil dan memaksa gadis yang saat itu memiliki dua adik ini masuk ke dalam mobil.
Pada tahun itu, tentu siapa yang memiliki mobil bisa dihitung dengan jari. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki mobil.
Sum Kuning berusaha meronta sekuat tenaga. Namun tenaganya tak mampu mengalahkan sejumlah pria yang rupanya sudah kalap tersebut, terlebih saat itu ia diancam dengan belati.
"Melawan berarti mati, menurut berarti hidup," demikian pemuda tersebut mengancam yang juga tertulis dalam buku terbitan UP Indonesia ini.
Ingatan Sum kuning
Dituliskan pula dalam ingatannya, ada tiga pemuda gondrong dan satu pemuda dengan potongan crewcut atau bros di dalam mobil.
Setelah itu, mobil melaju kencang melewati beberapa jalan di Kota Yogyakarta, Sum Kuning kemudian dibius.
Dalam keadaan setengah sadar itulah aksi bejat yang dilakukan para pemuda tersebut menimpanya. Dalam bukunya, Kamadjaja memaparkan Sum Kuning mengalami sakit luar biasa pada area kewanitaanya.
Kain panjang atau jarit yang ia kenakan pun berlumuran darah. Tak hanya itu, hasil jerih payahnya bekerja pun ikut dirampas.
Ia lantas dibuang di sebuah jalan yang kemudian diketahui adalah Jalan Wates di daerah Pelem Gurih, Gamping, Sleman.
Peristiwa tersebut menggemparkan masyarakat, setelah selang beberapa hari surat kabar memberitakan.
Meski begitu pihak keluarga tidak melaporkan kasus ini kepada pihak berwajib, padahal dukungan mengalir dari beberapa pihak, seperti dari kampus dan yang lainnya.
Sum Kuning kemudian diperiksa oleh Polisi. Disebutkan Kamadjaja, Polisi datang ke RS Bethesda, tempat Sum Kuning dirawat saat itu, ini didasari berita di surat kabar.
Pemeriksaan kemudian dilanjutkan setelah Sum Kuning keluar dari RS yang saat ini terletak di Jalan Jenderal Sudirman Kota Yogyakarta ini.
Tragis, justru Sum Kuning yang ditekan dan disalahkan dalam hal ini, ia dituduh membuat laporan palsu dan mencemarkan nama baik kepolisian. Cerita versi polisi pun muncul.
Di bawah tekanan
Sum Kuning diperiksa di bawah ancaman, salah satunya ancaman akan disetrum listrik. Tidak hanya itu dituduhkan pula bahwa Sum Kuning adalah anggota PKI dan menjadi pengikut Gerwani, organisasi dibawah PKI.
Kamadjaja mengisahkan, Sum diarahkan untuk mengakui penculikan dan pemerkosaan adalah hal yang tidak terjadi, dan ada cerita lain yang dialami seperti dipaksa membenarkan cerita versi polisi bahwa ia tidak diperkosa namun berhubungan badan dengan seorang tukang bakso.
Sum Kuning kemudian menjalani persidangan pertama pada 16 November 1970 di Pengadilan Negeri Yogyakarta, persidangan dilakukan tertutup.
Persidangan terbuka baru dilakukan pada persidangan keempat. Jaksa Adi Waluyo saat itu menuntut Sum dengan hukuman tiga bulan dengan masa percobaan selama setahun.
Namun, keputusan majelis hakim berbeda dengan tuntutan jaksa. Majelis hakim yang diketuai L Moeljatmo memutuskan Sum Kuning bebas dari segala tuduhan.
"Seketika bagaikan meledaklah para pengunjung menyambut keputusan itu dengan gemuruh, tepuk tangan, sorak sorai diiringi oleh serbuan mereka memberi selamat kepada Sum Kuning, tim pembela dan ketua majelis hakim," tulis Kamadjaja
Meski begitu siapa pelaku asli dari kasus tersebut tidak dibawa ke meja hukum hingga saat ini.
Penelurusan sejarah
Kasus Sum Kuning yang belum terungkap, terbenam sejalan dengan berjalannya waktu dan bergantinya generasi. Tribun Jogja mencoba menyambangi daerah asal Sum Kuning di Godean.
Tidak banyak informasi yang didapatkan, bahkan ketika Tribun Jogja menanyakan alamat, ada warga yang tidak mengetahui.
Dari informasi yang dihimpun, Sum Kuning kembali menata hidup setelah peristiwa itu dan saat ini tinggal di salah satu daerah di Jawa Tengah, bersama keluarganya.
Informasi yang dihimpun ia dulu bekerja di bidang kesehatan, saat pulang ke daerah asalnya menurut salah satu warga ia sering memberikan pengobatan gratis.
Selain itu, Sum Kuning juga sudah tidak tercatat sebagai warga Sleman. "Sekarang sudah tidak tinggal di sini. Sudah sejak lama sekali," jelas Wahyu, kepala Dusun Jetak II ketika ditemui di Balai Desa setempat.
Kasus Sum Kuning, menjadi satu dari beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Yogyakarta.
Sebelum kasus Sum Kuning, Yogyakarta digemparkan dengan kasus pemerkosaan terhadap guru sebuah sekolah swasta di Yogyakarta, yakni pada 26 Juni 1970 atau tiga bulan lebih beberapa hari saja dari kasus Sum Kuning.
Hampir sama dengan kasus Sum Kuning, kasus tersebut memiliki modus yang sama yakni penculikan dan pemerkosaan dengan menggunakan mobil.
Sementara itu, ada perbedaan modus untuk kasus yang terjadi beberapa tahun terakhir, dimana pelaku adalah orang dekat korban dan kejahatan yang dilakukan lebih kejam.
Kasus baru
Sebut saja kasus yang menghebohkan pada medio 2013 lalu, Priya Puspita Resanti (19) siswi sebuah SMK di Sleman menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan.
Priya diperkosa dan dibunuh oleh tujuh pelaku, salah satunya adalah mantan pacarnya, tidak hanya itu untuk menghilangkan jejak, korban dibakar lebih dari satu kali.
Para pelaku kemudian dijatuhi hukuman, tiga di antaranya dijatuhi hukuman mati, yakni seorang polisi yang sudah dipecat, Hardani (55) dan bapak anak, Khairil Anwar, 46 tahun, dan Yonas Refalusi Anwar, 21 tahun.
Sebelumnya, ketiga pelaku tersebut di vonis PN Sleman dengan hukuman seumur hidup pada 24 Oktober 2013.
Banding diajukan ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan divonis sama. Upaya kasasi dilakukan, namun justru hukuman mereka diperberat menjadi hukuman mati oleh Mahkamah Agung.
Putusan tersebut dengan pertimbangan bahwa mantan anggota polisi dan ayah dan anak tersebut melakukan perbuatan sadis yang direncanakan.
Sementara para pelaku yang lain dianggap hanya ikut serta.
Saat ini pelaku terus melakukan upaya untuk lolos dari hukuman, Hardani misalnya ia mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Sleman, pekan kemarin sidang kedua dijadwalkan tetapi tidak terlaksana. (tribunjogja.com)