FOCUS
Kendeng, Gendeng, Gendang
Kendeng, Gendeng, Gendang. Kendeng memang bukan dari kata gendeng. Kendeng berarti urat, tali busur, panjang, baris, atau jajar
TRIBUNJATENG.COM - Kendeng memang bukan dari kata gendeng. Kendeng berarti urat, tali busur, panjang, baris, atau jajar. Dari sini, Gunung Kendeng bermakna rangkaian gunung yang memanjang laksana urat bumi.
Sedangkan gendeng, harafiahnya berarti gila, tidak normal. Tetapi dalam bahasa gaul, gendeng bisa berarti seseorang melakukan sesuatu yang gila, aneh. Atau, bisa pula sebagai sebutan, bahkan ‘pujian’ terhadap seseorang atau lebih dari satu orang yang melakukan aksi sangat berani, nekat, dan sebagainya.
Boleh jadi aksi 25 petani perempuan asal kawasan Pegunungan Kendeng disebut ‘gila’, gendeng. Sejak Senin (13/3/2017) mereka unjuk rasa mencor kaki dengan semen di depan Istana Negara. Aksi serupa pernah dilakukan oleh sembilan petani perempuan di depan Istana Negara pada April 2016.
Betapa repot, semisal jika mereka ingin buang air kecil atau besar. Dan, satu di antara mereka,Patmi (48 tahun) asal Pati, telah meninggal di sela aksi, Selasa (21/3) dini hari, karena terkena serangan jantung.
Kaki mereka dicor semen bukan sebagai gambaran lain mereka sebagai orang gendeng beneran yang dipasung. Bukan pula semacam Sinto Gendeng, karakter fiksi ciptaan Bastian Tito yang muncul di serial novel Wiro Sableng. Sinto Gendeng diceritakan memiliki ilmu tinggi, tapi sifatnya yang aneh dan seperti orang tak waras sehingga perempuan bernama asli Sinto Weni itu dijuluki Sinto Gendeng.
Sementara para petani perempuan asal Kendeng itu waras semua, pun tinggi ilmunya dalam hal kelestarian alam, Mereka, mewakili para petani Kendeng, memprotes izin lingkungan baru yang ditandatangani oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Dengan terbitnya izin tersebut kegiatan penambangan karst PT. Semen Indonesia di Rembang masih tetap berjalan. Mereka meminta Presiden Joko Widodo segera mencabut izin lingkungan tersebut.
“Tanah air ini untuk anak cucu kami, akan kami pertahankan sampai mati. Tanah itu ibu pertiwi. Membangun pabrik semen artinya menyiksa ibu” Begitu sebagian ungkapan hati petani Kendeng saat beraksi mencor kaki tersebut.
Mereka ingin selalu tetap mengolah tanah negeri secara mandiri. Mereka tidak ingin dijadikan sebatas kuli pabrik semen. Mereka sepertinya mengingat dalam-dalam akan pesan Presiden Soekarno (Bung Karno). sang proklamator, agar bangsa Indonesia jangan mau menjadi“bangsa kuli” dan menjadi kuli di negeri sendiri. Mereka tegasnya bahwa Indonesia sudah 71 tahun lebih merdeka, sudah seharusnya rakyat tak terbelenggu penjajah seperti antara lain digambarkan kaki dicor semen.
Selama ini warga Kendeng memang sudah sejahtera dengan bertani. Aktivitas pertanian dan kondisi tanah di sana bisa berubah jika memang bakal ada pertambangan semen. Maklum jika petani Kendeng tak pernah lelah berjuang mempertahankan kelestarian alam Kendeng dengan beragam aksi.
Akhirnya, kerena berulang kali menyebut Kendeng, jadi ingat kata gendang/kendang. Gendang adalah instrumen dalam gamelan Jawa yang salah satu fungsi utamanya mengatur irama. Ibarat gendang, suara hati rakyat, termasuk petani Kendeng.
Layak didengar oleh penguasa agar kebijakan pemerintah seirama dengan kehendak rakyat. Suara hati rakyat tak bedanya fungsi gendang, Barangkali Gendang Kyai Moyek merupakan wahyu keraton Yogyakarta, tak lain sebagai simbol suara rakyat. Berdirinya keraton maupun republik ini karena berkat suara- dukungan rakyat.. (tribunjateng/cetak)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/sujarwo-penulis-tajuk_20170323_065719.jpg)