KETIKA Warga Desa di Purbalingga Meruwat Mata Air, Rela Lalui Jalan Setapak di Pinggir Jurang
Pagi-pagi, ribuan warga desa baik putra maupun putri berseragam adat Jawa berkumpul di halaman masjid desa hingga memenuhi badan jalan.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: bakti buwono budiasto
Mereka berjalan khusyuk seperti menghayati setiap tapak yang mereka injak.
Jalan sulit nan terjal membuat langkah mereka rapat agar tak bertumbukan dengan pejalan lain.
Baca: Surat Sepeda Motor Pengendara yang Marahi Polwan Diblokir? Ini Penjelasan Kasatlantas Semarang
Bunyi gemericik air di sela bukit menandakan perjalanan mereka segera berakhir. Mata air bening yang mereka tuju telah ketemu. Barisan pertama menurunkan sesaji lalu meletakkannya di depan mata air yang telah dibangun gubug.
Pemimpin adat melafalkan doa berbahasa Arab, juga salawat Rasul yang diikuti pesérta ruwatan hingga beberapa saat.
Usai didoakan, sesepuh mengambil air suci dengan gayung lalu memasukkannya ke lubang Lodong. Satu persatu peserta kirab menengadahkan Lodong yang mereka bawa agar diisi dengan air suci.
Genap 777 Lodong terisi, mereka membawa kembali lodong berisi air suci itu menuruni gunung.
Balai Desa Serang menjadi titik akhir perjalanan kirab mereka yang menguras keringat.
Baca: Polres Demak Bantu Cari Napi yang Kabur dari Rutan Jepara
Di tempat itu, air suci itu dikumpulkan untuk dibagikan lagi ke warga kemudian, setelah beberapa hari disemayamkan.
Bupati Purbalingga Tasdi mengatakan, ritual pengambilan air suci Sikopyah mengawali gelaran festival Gunung Slamet.
Sebelum dikemas ke dalam festival sejak tiga tahun silam, tradisi itu telah ada dan dilestarikan oleh masyarakat setempat sejak era nenek moyang.
Pengambilan air suci dari sumber mata air keramat menurut Tasdi sebagai perwujudan syukur warga terhadap karunia Sang Pencipta berupa air kehidupan.
Baca: Tahun Baru Islam, Bupati Kendal Mirna Annisa Gelar Tirakatan Sederhana di Alun-alun
Apalagi mata air Sikopyah selama ini menjadi denyut nadi warga di beberapa desa di lereng gunung Slamet.