Sejarah Gunung Tampomas yang Makin Rata Karena Bendung Sungai Serayu
Di sudut desa Gentansari, Pagedongan, sebuah danau berair tenang dikelilingi dinding batu yang tinggi menjulang.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: bakti buwono budiasto
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Khoirul Muzakki
TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA - Di sudut desa Gentansari, Pagedongan, sebuah danau berair tenang dikelilingi dinding batu yang tinggi menjulang.
Bukit penuh batuan keras itu setiap hari jadi sasaran pukulan bodem puluhan penambang yang hidupnya bergantung dari mencari batu.
Meski tak lagi serupa gunung, sisa kegagahan Gunung Tampomas masih tergurat.
Dahulu, Tampomas adalah gunung kecil yang ditumbuhi hutan rimbun.
Baca: Safira, Gadis Difabel yang Tolak Belajar di Sekolah Umum, Begini Kisahnya
Puncaknya selalu ramai dinaiki penduduk yang ingin melihat gemerlap kota dari ketinggian.
Gunung Tampomas dahulu disebut juga Gunung Wadon.
Tentu saja penamaan itu ada musababnya.

Tak jauh dari gunung itu, Gunung Lanang berdiri kokoh hingga sekarang.
Karena berdekatan, kedua gunung ini dipercaya berpasangan.
Baca: 88 Orang Membatik di Pinggir Jalan Samanhoedi Solo, Ini Alasannya
Tahun 1980 an, bukit kebanggaan warga itu dihancurkan untuk membendung sungai Serayu.
Pemerintah Orde Baru kala itu mengembangkan proyek waduk untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan membendung sungai Serayu di Kecamatan Wanadadi.
"Ada kaitannya antara pembangunan waduk Mrican dengan hilangnya gunung Tampomas,"kata Ketua Karang Taruna Desa Gentansari Kecamatan Pagedongan Pawit Wahono, Kamis (2/11).
Jauh sebelum bukit Tampomas dipindahkan untuk membendung sungai Serayu, sebagian penduduk setempat mempercayai legenda yang menyertai gunung Tampomas.
Jika bukit Tampomas runtuh atau longsor, bebatuannya akan menjangkau dan membendung sungai Serayu.
Legenda itu tentu saja tak masuk nalar.
Mustahil batuan gunung kecil itu menggelinding hingga ke Serayu sejauh sekitar 6 kilometer.
Tampomas tidak nyata longsor.
Baca: Ini Harapan Kapten PSIS Semarang Jelang Babak Delapan Besar Liga 2
Namun bebatuannya pada akhirnya benar-benar membendung sungai Serayu.
Tahun 1970 an, kabar pembangunan bendungan oleh pemerintah untuk proyek PLTA dan irigasi santer terdengar.

Para ahli mantap memilih Gunung Tampomas sebagai sumber batu untuk membendung Serayu.
Batuan di bukit itu sangat keras dan padat sehingga layak untuk bahan konstruksi utama bendungan.
Jalan akses menuju bukit mulai diperlebar agar memuat kendaraan besar.
Tahun 1980 an, gunung Tampomas mulai diruntuhkan.
Setiap hari, suara dentuman terdengar menggelegar dari arah bukit.
Bukit Tampomas dihancurkan dengan dinamit secara bertahap.
Reruntuhan batuan yang tercerai berai akibat ledakan diangkut ke dalam truk-truk besar untuk ditumpahkan ke sungai Serayu.
Baca: Menikmati Senja dan Malam di Bukit Bintang Semarang, Di Sini Lokasinya
Setiap hari, jalanan desa bising dengan hilir mudik truk truk raksasa pengangkut batu.
"Ledakannya gak sekaligus, bertahap. Sampai sekitar 3 tahun gunung Tampomas dihancurkan untuk diambil batunya,"katanya
Berkat batuan dari bukit Tampomas, sungai Serayu akhirnya berhasil terbendung. Tahun 1989, Presiden Soeharto meresmikan operasional waduk Mrica untuk pembangkit listrik dan keperluan irigasi petani.
Pelaksana proyek menarik alat-alat beratnya dari bukit Tampomas.
Baca: Berencana Go Public, Dafam Group Bakal Jadi Emiten Bidang Perhotelan dan Properti Pertama di Jateng
Desa kembali sepi dari suara dentuman dinamit. Bukit Tampomas ditinggalkan usai isi tubuhnya dijarah.
Namun sisa reruntuhan bebatuan masih banyak berserak.
Masyarakat setempat gantian menyerbu bukit yang telah berubah rata tersebut.
Mereka memunguti sisa bebatuan yang tak habis untuk proyek.
Sejak saat itu, narasi kehidupan warga di desa Gentansari mulai berubah. Sebagian penduduk yang mulanya bertani di ladang alih profesi jadi penambang.
"Setelah proyek selesai, warga mengambili batu sisa di bukit Tampomas. Enak saat itu karena tinggal mengambil, gak perlu menambang. Sampai tiga tahun kami hanya mengambil, setelah habis kami baru menambang,"kata Towil, penambang tradisional di bukit Tampomas
Baca: Berencana Go Public, Dafam Group Bakal Jadi Emiten Bidang Perhotelan dan Properti Pertama di Jateng
Hingga sekarang, lebih dari 30 tahun ditambang, bebatuan di bukit Tampomas belum habis diambil oleh para penambang tradisional.
Jika dahulu, diambil untuk proyek bendungan, kini bebatuan bukit itu ditambang untuk pondasi bangunan.
Batu dari bukit Tampomas terkenal keras di banding batu sungai sehingga disukai masyarakat yang membutuhkannya untuk pembangunan.
Permintaan batu Tampomas terus meningkat.
Baca: Slaven Bilic yakin West Ham Masih Bisa Merepotkan Liverpool
Namun para penambang tak ingin mengambil jalan pintas untuk mengeruk batu dengan peledak.
Mereka memilih mengambil batu dengan pukulan bodem yang menguras keringat.
Harapannya, kata dia, bukit Tampomas awet ditambang karena kehidupan warga masih panjang.
"Tidak boleh pakai dinamit, ditambang manual saja biar awet. Karena kehidupan kami bergantung dari sini,"katanya.(*)